Devil's Fruit (21+)

Jeritan Seorang Ibu



Jeritan Seorang Ibu

4Fruit 1069: Jeritan Seorang Ibu     2

Andrea lekas gerakkan tangan dan Leon sudah terangkat di udara tercekik meski tangan Andrea tidak perlu menyentuh lehernya. "Katakan kalau kau masih ingin merasakan napas di tubuh busukmu!"      

"Arkkhh ... harrkkhh ..." Leon memegangi lehernya, berusaha menahan sebuah kekuatan yang tak kasat mata sedang mencekiknya, sementara dua kakinya menendang-nendang di udara.      

"Jangan sakiti rakyatku." Tiba-tiba saja ada suara Ivy, menggema di ruangan itu.     

Segera, Andrea menegang. Itu sungguh-sungguh suara putrinya. "I-Ivy ... Ivy?" Matanya segera mencari meski tidak sampai menggerakkan kepalanya, dia segera memindai ruangan tersebut dengan kekuatannya.      

Andrea bisa merasakan sebuah energi yang samar tapi besar di bagian kanannya. Kepala Andrea segera mendongak ke kanan atas dia.      

Ivy yang sedang berada di alam pribadi miliknya sedikit terperanjat karena tidak menyangka ibunya bisa mendeteksi keberadaan dia meski wujudnya dan juga bola kristal hitam tidak muncul secara nyata.      

Yah, kekuatan Andrea memang terkadang membuat otak logis ras manapun tidak bisa mencapainya.      

"Ivy, Ivy sayank ... Mama rindu padamu, ayo pulang ke mansion." Andrea langsung saja secara lugas membuka identitas hubungan dia dengan Ivy agar siapapun yang bersembunyi di sana segera memahami bahwa Andrea datang bukan untuk mengacau melainkan hanya menginginkan anak perempuannya pulang bersama dia.      

"Lepaskan dia." Suara Ivy terdengar datar, sama seperti yang biasa dia tampilkan sehari-hari di mansion, bahkan meski itu di depan ibunya sendiri.      

Andrea menatap Leon yang masih tergantung di udara dan bergerak-gerak ingin berjuang untuk napas hidupnya. Akhirnya, mendesahkan napas terlebih dahulu, sang cambion pun menarik kembali kekuatannya, sehingga Leon ambruk ke lantai dan terbatuk-batuk, lega hidupnya masih lestari.      

"Ivy, sayank ... ayo pulang." Andrea mengucapkannya penuh kerinduan dan mendamba, tidak menggunakan suara menghardik.      

"Untuk apa?" tanya Ivy pada ibunya, masih menolak untuk memunculkan keberadaan dia secara nyata.      

"Untuk apa?" ulang Andrea. "Tentu saja untuk pulang ke rumah denganku, sayank." Nada lembut keibuan Andrea adalah sesuatu yang sangat langka muncul. Dia adalah wanita lugas dengan temperamen buruk yang lebih suka menggunakan suara menggelora penuh semangat untuk menampilkan imej dia. Andrea bukan wanita lembut seperti Shelly. Namun, kali ini, untuk membujuk Ivy, dia menyingkirkan karakter asli dia hanya demi bisa meluluhkan sang putri sulung.      

"Pulang?" Nada suara Ivy meninggi meski tetap terasa dingin. "Di sini adalah rumahku, maka di sinilah aku pulang." Ada warna ejekan ketika Ivy menyatakan demikian pada ibunya.      

Andrea cukup kaget dan syok menerima penolakan Ivy. Kalimat Ivy sungguh menohok dirinya. Dia yang selama ini berjuang susah payah menyenangkan Ivy dan senantiasa memberikan kenyamanan dan perlindungan ... tidak dianggap sebagai tempat sang anak pulang. Ibu mana pun akan sedih mendengar ucapan demikian dari anaknya setelah apa saja yang telah dia lakukan dia korbankan.     

Menghalau kekecewaan di hatinya, Andrea masih mencoba membujuk Ivy. "Sayank, Mama ingin kamu pulang bareng Mama. Kalaupun kamu punya keluhan atau protes akan sesuatu, Mama akan dengarkan. Tapi Mama mohon ... pulanglah dengan Mama. Yah!"      

Sungguh Andrea menjatuhkan karakter dia sendiri. Dante sebagai suami pun belum pernah dirayu menggunakan nada selembut itu.      

"Tidak mau. Aku suka di sini, aku nyaman di sini." Ivy terang-terangan menolak. Ini membuat Leon mendengus geli sekaligus iba pada Andrea, seorang ibu ditolak anaknya, seberapa menyedihkannya itu? "Tapi karena kalian sudah mengetahui tempat ini, mungkin aku akan mencari tempat lain lagi."     

"Ivy, Ivy, aku mohon ... Mama mohon jangan begitu. Kita bisa bicara di rumah, oke? Kita bisa diskusikan apa yang kamu mau nanti di rumah, oke?" Andrea langsung saja gelisah ketika anak perempuannya hendak memindahkan markas kelompoknya ke tempat lain yang tidak diketahui Andrea.      

"Tidak perlu memohon, karena aku tidak akan luluh dengan permohonanmu." Ivy berkata dingin.      

"Ivy, tolong pulang. Mama dan yang lain ingin kita berkumpul lagi dan saling meghabiskan waktu dengan menyenangkan seperti sebelumnya." Dante ikut membujuk. Dia tidak ingin dipandang hanya sebagai ayah tiri yang pasif.      

"Diam saja kau!" bentak Ivy usai Dante mengangkat suara. "Siapa kau memangnya? Aku tidak mengakuimu sebagai bagian dari diriku!"      

Secara mengejutkan, Ivy berkata demikian untuk Dante. Andrea dan tuan Nephilim sama-sama terperanjat serta tak mengira bahwa si gadis remaja bisa memburaikan kalimat semacam itu.      

"Ivy!" Andrea hampir lepas kendali. Hatinya membara ketika suaminya diberi kalimat demikian oleh putrinya. Bukannya dia berat sebelah membela Dante, tapi ucapan dari Ivy sudah keterlaluan. Membentak dan juga tidak bersedia mengakui Dante? "Ivy, jangan berkata begitu pada papamu!" Meski emosi, Andrea terus menekan suaranya sehingga nada tetap terjaga walau sedikit meninggi.      

"Papaku? Hah! Dia bukan papaku!" seru Ivy tegas. Enak saja lelaki bernama Dante itu hendak menggeser posisi papa di kehidupannya. Jangan harap Dante bisa menyingkirkan posisi Giorge.      

"Ivy, sayank ... apakah kau belum juga bisa menerima Dante? Dia juga papa kamu, sama seperti Giorge. Apa kamu masih-"     

"Jangan sebut-sebut nama papaku yang agung dengan mulut tercelamu!" teriak Ivy dengan suara bergetar. Andrea dan Dante kaget. Gadis itu bahkan memiliki amarah pada ibunya pula? "Kalian hanya bisa memberikan kebohongan padaku! Apa kalian pikir aku akan terus bodoh serta tolol sehingga tidak mengetahui kebenaran akan papaku sendiri, hah!? Kalian pikir aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada papaku, hah!" Kemudian, terdengar bunyi isakan, menandakan Ivy sedang menangis.      

Mendengar tangisan anak perempuannya, Andrea bagai tersayat hatinya oleh sembilu. Dia juga tidak ingin itu terjadi. Bukan kemauan dia jika Giorge meninggal dalam peperangan melawan bangsa vampir kuno untuk menyelamatkan Ivy.      

Yang miris adalah ... sebenarnya Ivy yang membuat kematian ayahnya dipercepat.      

Hal itulah yang sampai sekarang menjadi sebuah penyesalan terdalam pada diri Ivy. Dia tidak tahu bahwa suatu tindakan dari sebuah pemikiran sederhana seorang anak kecil, justru mempercepat ajal dari ayah tercintanya sendiri.      

Inilah yang mendasari emosi yang berkecamuk bagai badai di hati Ivy. Rasa gusar, marah, kecewa pada dirinya dan juga kecewa pada semua orang di dekatnya pada masa itu. Ini pula yang menyebabkan Ivy membenci ras kuno vampir dan hendak mendirikan kerajaan vampir generasi baru.      

"Pergilah." Suara Ivy berbaur lirih dengan isakannya yang samar, berusaha ditahan agar tidak perlu diketahui, meski sang ibu sudah mengetahuinya. "Pergilah dan tak perlu kembali. Juga, tidak usah mencariku lagi. Anggap aku bukan anakmu, anggap kau tak pernah memiliki anak sepertiku. Anggap saja aku sudah mati!" teriaknya di ujung kalimat.     

"Ivy!" Andrea berteriak dengan suara bergetar karena menangis pula. "Kau selamanya anakku, kau selamanya keluarga kami! Kau bersama kami! Kau memiliki kami! Dan itu tidak akan berubah sampai jaman apapun!"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.