Devil's Fruit (21+)

Tak Yakin Bisa Melupakan



Tak Yakin Bisa Melupakan

2Fruit 1103: Tak Yakin Bisa Melupakan     1

Pertarungan singkat namun sangat menyakitkan melawan Ruenn sudah usai dan kini yang tersisa hanya puing-puing amarah dan kecewa.      

Jovano masih diberi energi healing dari Shona. Kedua tangannya yang sempat ditebas oleh Ruenn, kini sudah tersambung berkat usaha adik bungsunya, Zivena, yang mengakibatkan si bocah kecil harus kembali ke tidur panjang dia untuk memulihkan diri dari penggunaan tenaga yang sangat besar pada sang kakak.     

Mendapati tangannya sudah kembali tersambung, Jovano melirik ke arah Nadin. Masih dengan napas pendek-pendek dan nyaris putus dari badan, ia mencoba meraih Nadin yang tergolek mengenaskan di sudut sana. "Nad ..." lirihnya.      

Andrea dan semuanya melihat adegan itu. Adegan dimana Jovano menjulurkan lengan berharap bisa menjangkau tubuh Nadin yang sekarat.      

Geram karena semua ini ada keterlibatan dari Nadin pula sehingga sang anak terluka parah, Andrea memunculkan energi api hitam di kepalan tangannya, hendak melangkah menuju tempat Nadin tergolek diam.      

Tepp!     

Dante menghentikan istrinya. Ia menggeleng pada Andrea. Lalu tatapannya terarah ke Jovano, seolah memberi isyarat pada sang istri agar memikirkan perasaan Jovano jika Andrea berniat membunuh Nadin.      

Andrea paham isyarat mata dari suaminya, tapi dia menutup semua itu dengan amarahnya. Ibu mana yang tidak akan meluap emosinya jika anaknya terluka parah? Melotot ke Dante, Andrea menggeram, "Kenapa? Karena dia anakmu makanya aku tak boleh membunuhnya?!"     

Dante termangu dengan kalimat sang istri. "Sayank, bagaimana bisa kau berpikir seperti itu? Aku sama sekali tidak memikirkan mengenai apa yang kau pikirkan. Aku hanya mempertimbangkan perasaan Jo!"     

"Haisshh!" Andrea mengibaskan tangannya secara gusar dan menghindari tatapan mata Dante.      

"M-Mom ..." Jovano lirih memanggil ibunya. Andrea segera saja melesat ke sang putra. "Mom, bisa bawakan Nadin ke sini?"     

Mata Andrea terbelalak mendengar permintaan putranya. Apalagi dia melihat di mata sang sulung masih ada pendar cinta ketika dia menatap ke Nadin. "Jo, dia kan-"     

"Mom ... tolong ... bawakan dia ... ke dekatku ..." Dengan napas terengah pendek, Jovano memohon pada ibunya. "Atau ... Uncle ... Kenz ..."     

"Biar aku saja!" Andrea berdiri seketika dan menoleh ke Nadin yang berada di kondisi antara hidup dan mati. Menerima tusukan cakar iblis pada jantung, seberapa lama dia bisa bertahan?     

Maka, Andrea pun berjalan ke Nadin yang terbaring berdarah-darah di lantai, menatapnya dengan penuh nyala amarah. Gadis itu takut tapi tak berdaya pada tatapan Andrea.      

Belum sempat Nadin bicara apapun, Andrea menggunakan energi telekinesis Mossa dia untuk mengambil Nadin tanpa dia perlu susah payah merundukkan badan.      

Tepp!     

Leher Nadin sudah menempel di telapak tangan Andrea seperti besi tertarik oleh daya magnet. Gadis itu sudah pasrah, jika saat ini lehernya diremukkan Andrea, maka memang itu lah yang harus terjadi.      

"Mom ..." Jovano ingin sekali merenggut Nadin dari cengkeraman ibunya.      

Sedangkan Dante tidak berani berujar apapun lagi. Dia tidak ingin Andrea akan lebih salah paham padanya jika dia mengingatkan Andrea agar tidak melakukan apapun pada Nadin di depan anaknya.      

Ya, Dante tidak keberatan jikalau Nadin di bunuh di luar, asalkan jangan di depan Jovano. Dia tahu putra sulungnya masih sangat mencintai Nadin meski rasa cinta itu pasti juga sebesar rasa kecewa Jovano pada gadis tersebut.      

Melihat Nadin terkulai di cengkeraman tangannya, tidak berdaya apapun, Andrea begitu tergoda untuk menggerakkan tangannya dengan gerakan meremas.      

"Mom ... ku ... mohon ..."     

Suara Jovano berdering di telinga Andrea. Meski terdengar lirih dan tanpa kekuatan, tapi mengandung permohonan besar. Ditambah, setelah memikirkan bahwa gadis laknat ini telah menyelamatkan putranya dengan mengorbankan dirinya, ini pula yang menjadi pertimbangan Andrea.     

Menggertakkan gerahamnya karena nyatanya dia memang tidak boleh membunuh gadis laknat di tangannya ini, Andrea berjalan membawa Nadin di tangannya yang masih dia cengkeram lehernya, dan jatuhkan Nadin di depan Jovano. "Humph!" Ia mendengus sebelum akhirnya mundur menjauh sebelum hasrat membunuhnya benar-benar tak bisa dihentikan.      

Jovano melihat pada Nadin. Kondisinya sama menyedihkan seperti dirinya, namun sepertinya Nadin jauh lebih parah karena jantungnya ditusuk oleh cakar iblis ibunya sendiri. Itu semua demi menjadi perisai dirinya. "Nad ..."     

Gadis yang terkulai lemas itu pun mengangkat sedikit kepalanya meski itu adalah sesuatu yang berat baginya. "Jov ..." Menggunakan sisa tenaga yang ada, Nadin beringsut mendekat ke Jovano.     

Andrea hendak maju karena dia seketika khawatir jika Nadin hendak mencelakakan anaknya lagi. Tapi Jovano menghentikan ibunya dengan menaikkan tangan sebagai tanda agar Andrea berhenti di sana saja.      

"Nad ..." Jovano mengelus wajah kacau Nadin.     

Kondisi Nadin memang berantakan. Apalagi darah hitam masih tersembur keluar dari mulutnya dan pakaian di bagian dadanya sudah penuh akan warna hitam. Dia saat ini sudah tidak bisa menggunakan energi sihir apapun untuk menutupi jati dirinya. "Jov ... maaf ..." lirihnya.      

Senyum sayang penuh ketulusan hadir di wajah Jovano ketika dia menatap lembut pada Nadin. "Tak ... apa. Mungkin memang ... sudah ... takdirnya begini ..." Di tengah-tengah kesusahan bernapas dan bicara, Jovano masih ingin mengungkapkan kata-kata pada sang kekasih.      

Mata Nadin berlelehan air mata melihat betapa Jovano masih saja menyayangi dirinya meski dia begitu jahat sudah memanipulasi pria itu. "Aku ... aku jahat ... hiks!"     

"Ssshh ..." Jovano mengusap bibir Nadin. "Kemarilah ..."      

Nadin bersusah payah beringsut lagi lebih dekat ke Jovano, berbaring di salah satu lengan sang kekasih sambil kepalanya direbahkan pada bahu Jovano.      

Tangan tersebut digunakan Jovano untuk mengelus rambut Nadin, sementara Shona masih berjuang menutup lubang di perut Jovano. Sepasang kekasih itu sama-sama terbaring di lantai. Tampak damai.      

"Jov ... aku ingin ... jujur padamu ..." bisik Nadin.     

"Hm ..." Jovano mengisyaratkan dengan gumamannya agar Nadin berbicara saja apa yang ingin disampaikan padanya.      

"Aku tahu ... aku diperintahkan ... ibuku ... menjebakmu ..."     

"Hm ..."     

"Aku melakukannya ... dan ... berhasil ... dan Jov ... apa kau tahu?"     

"Hm?"     

"Aku benar-benar ... jatuh cinta ... padamu. Aku cinta padamu, Jov ... aku ... cinta ..." Usai mengatakan itu, Nadin terdiam dengan mata terpejam.      

"Aku ... tau, Nad. Kau ... tentu saja ... mencintaiku ... kalau tidak ... kau takkan ... mengorbankan dirimu ... seperti ... ini ..." Jovano tersenyum bahagia. "Nad ... aku juga ... sangat mencintaimu ..." Dia masih tersenyum, tapi tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang janggal. "Nad? Nad? Nadin?" Ia mengguncang sedikit tubuh Nadin, namun gadis itu tidak merespon.      

Shona tak tahan dan berkata ke Jovano, "Jo, dia sudah tak ada lagi."     

Pernyataan lirih dari Shona membuat Jovano terpaku diam. Hanya matanya yang akhirnya mulai digenangi air mata dan akhirnya dia menangis sambil memeluk kepala Nadin dengan satu lengannya.      

Andrea menggigit bibirnya melihat kesedihan putranya.      

Cinta memang memiliki berbagai wajah, berbagai tampilan, dan berbagai kisah di baliknya.      

Dalam seumur hidupnya, Jovano tidak yakin dirinya bisa melupakan Nadin.      

-0-0-0-0-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.