Devil's Fruit (21+)

Masih Ada Banyak Waktu, Jangan Menyerah



Masih Ada Banyak Waktu, Jangan Menyerah

3Fruit 1126: Masih Ada Banyak Waktu, Jangan Menyerah     1

Sementara rekan timnya membicarakan mengenai dirinya, Jovano baru saja bangun tidur di pondok khususnya. Dia akhir-akhir ini memang lebih suka tidur di Pondok Senjata ketimbang di kamarnya di pondok hunian.     

Apalagi, dia terus saja menghabiskan waktunya untuk menempa dan menempa senjata. Pelariannya belum usai. Hatinya belum merasa damai dan ikhlas.      

Perasaan Jovano masih berat melepaskan kenangan tentang Nadin. Sebuah cinta pertama mana bisa mudah dilupakan, sepahit apapun itu, tetap saja merupakan cinta pertama, sesuatu yang akan membekas di memori sampai kapanpun jua.     

"Jo, kau sudah bangun?" Andrea masuk ke Pondok Senjata dan mendapati anaknya masih menggeliat sambil berdiri dan sepertinya akan bersiap menempa lagi.     

"Ohh, Mom." Secara otomatis, dia menatap sosok yang berada di ambang pintu pondoknya. "Sudah, Mom. Ini mau lanjut bikin senjata untuk Vava." Ia berjalan ke meja kerjanya dan mengambil sebuah cambuk yang masih setengah jadi.      

Andrea mengikuti putranya dan menatap cambuk tersebut. "Masih belum jadi?"     

"Belum, Mom. Bahan yang aku pengin kayaknya susah didapat. Yang ini kurang memuaskan. Ini aja udah keempat kalinya aku bikin dan hasilnya gak maksimal karena bahannya jelek. Semoga aja yang terakhir ini sukses." Jovano mengangkat cambuk di tangannya.      

"Emangnya bahan yang kamu pengin yang kayak apa, Jo?" tanya sang ibu sambil mengambil cambuk di tangan putranya, lalu meneliti benda setengah jadi tersebut.      

"Aku butuh setidaknya tendon naga yang kuat atau tulang belakang yang kuat dari beast." Jovano mengatakannya sambil menatap sang ibu.      

"Tapi kamu gak berharap dapat itu dari paman Heilong-mu, kan? Ha ha ha!" Andrea melirik ke putranya dan malah tertawa.      

"Ha ha, tentu aja enggak lah Mom. Mana mungkin aku mengorbankan rekan tim sendiri hanya untuk mencari bahan senjata? Aku mungkin harus menghubungi opa untuk mencarikan bahan yang lebih bermutu lagi."     

"Coba lihat apakah ini bisa ngebantu kamu, Jo." Andrea mengeluarkan tulang belakang ular piton raksasa yang dulu pernah dia lawan bersama Dante di alam Feroz.      

Seketika, muncul gulungan besar di pondok itu dari cincin ruang Andrea, RingGo, sehingga benda itu hampir memenuhi pondok tersebut.      

Mata Jovano terbelalak dengan senyum super lebar. "Woaahh! Mom! Kenapa aku gak tau kalo Mom punya benda sebagus ini?" Jovano langsung saja menyentuh tulang belakang piton raksasa yang diameternya bisa mencapai setengah meter.      

"Yah, kamunya kagak tanya yah Mama mana mungkin kasi tau lah!" Senyum lega muncul perlahan di wajah Andrea setelah melihat raut takjub putranya. Dari situ, dia pun mengetahui bahwa Jovano sudah menemukan bahan yang dia inginkan.      

"Ini buat aku, Mom?" Mata Jovano berbinar ketika menoleh ke ibunya sembari dia mengangkat bagian kecil tulang belakang raksasa itu.      

Andrea mengangguk. "Ambil aja dan gunakan semaumu. Toh di RingGo juga dia malah menyumpal menghabiskan tempat aja."      

Andai RingGo memiliki jiwa, mungkin cincin ruang itu akan berteriak protes karena dirinya diremehkan oleh pemiliknya mengenai kapasitasnya. Padahal saat ini RingGo sudah sangat luas setelah berkembang dan mengikuti Andrea berpuluh tahun lamanya.     

Andrea hanya mencari alasan saja untuk memberi tulang belakang raksasa itu pada putranya agar Jovano tidak terlalu merasa tak enak hati. Jika orang mengetahui luas RingGo sekarang sudah hampir seluas pulau Kalimantan, mungkin mereka akan jatuh terjengkang karena terkejut bukan main.     

"Hm, mungkin ini akan aku gunakan semuanya." Jovano menatap benda di tangannya. Itu benar-benar besar dan berat! Apa menurutmu sebuah tulang belakang dengan diameter setengah meter itu kecil dan remeh? Belum lagi panjangnya yang tidak main-main.      

"Akan kamu gunakan semua?" Andrea mencari konfirmasi dari ucapan putranya.      

Anggukan Jovano menambah tegas jawabannya. "Aku bakal padatkan ini dulu hingga gak segigantis ini sampai jadi seukuran cambuk normal. Lalu ... tantangan berikutnya, bikin dia seringan cambuk biasa tapi kuat dan mematikan."     

"He he he, kalau gitu, selamat bergulat dengan tantangan, Jo." Andrea puas melihat putranya mulai bersemangat dan menepuk bahu pemuda itu sebelum dia pergi dari pondok.      

"Mom."     

"Ya?" Andrea menoleh ke belakang.     

"Thanks." Jovano tersenyum penuh rasa syukur karena memiliki Andrea sebagai ibunya.      

"Hmft!" Andrea tersenyum. "Ngapain harus sungkan gitu sih ama Mama? Ha ha, oke, selamat bekerja dan semoga sukses, Jo!" Ia melanjutkan langkahnya dan melambai tanpa menoleh lagi ke Jovano.      

Sepeninggal ibunya, Jovano menatap gelungan raksasa yang hampir memenuhi lantai pondoknya. "Wew! Kayaknya bakalan kerja lembur beberapa hari, nih!" Meski kalimatnya sarat akan keluhan, tapi binar antusias di matanya menunjukkan kontradiksi dengan apa yang dia ucapkan.     

Dia belum pernah menempa bahan sebesar ini agar menjadi ukuran jauh lebih kecil, ramping, ringan, namun kuat mematikan. Seberapa gila tantangan untuk itu?     

Dan tentu saja, dia tidak boleh gagal atau itu akan sangat menyia-nyiakan bahan bagus yang ada.      

Sementara Jovano kembali menemukan gairahnya menempa senjata, rekan-rekan tim dia sedang berkutat di hal lain yang berbeda-beda.      

Shiro dan Kiran banyak menghabiskan waktu di hutan dekat pondok Cosmo. Sepanjang siang hingga petang keduanya berada di sana agar Shiro bisa lebih leluasa melatih Kiran.     

Apalagi, mereka sengaja mencari sumber air yang cukup banyak dan besar di alam itu. Karena saat ini Kiran belum bisa menciptakan airnya sendiri, dia masih harus belajar menggunakan bantuan media air di luar dirinya.      

"Coba sekarang kamu gerakkan pusaran airmu, Ran." Shiro mulai memberikan tantangan ke gadis mungil nan manis itu.      

Kiran mengangguk. Meski banyak bulir peluh sudah muncul di tubuhnya di siang itu, dia tidak surut dan makin ingin lekas berhasil dengan banyak pencapaian.      

Segera, Kiran memasang kuda-kudanya sebelum dia ulurkan kedua tangan ke depan sambil berkonsentrasi. Kini dia sudah mengetahui bahwa dia harus membuka matanya ketika hendak mengendalikan air.     

Fokus pada sesuatu tidak melulu dilakukan dengan memejamkan mata, sekarang Kiran telah memahami itu. Semua adalah berkat Shiro yang terus membimbingnya.      

Perlahan-lahan, air danau di depan Kiran menggulung naik ke atas. Makin lama, makin tinggi dan gulungan itu terus berputar stabil di ketinggian 10 meter lebih. Sekarang, tantangan sebenarnya dimulai. Dia harus menggerakkan gulungan air itu dengan terampil.      

"Rmmmghh ...." Kiran mengerang dalam-dalam ketika dia memusatkan konsentrasinya pada pusaran air tinggi berdiameter sekitar 40 sentimeter di depannya. Ia harus mempertahankan pusaran itu agar tidak runtuh.      

Kemudian, tangan kanan Kiran mulai bergerak pelan dan diharapkan pusaran air di depan saja ikut meliuk sesuai dengan apa yang tangannya gerakkan.      

Spyaasshh!     

"Hghh!" Kiran menghembuskan napas keras-keras ketika pusaran air itu gagal dan malah runtuh kembali menyatu dengan danau yang cukup luas tersebut.      

"Tak apa, kita bisa coba lagi. Masih ada banyak waktu, jangan menyerah." Shiro memberikan kalimat penyemangatnya.      

Kiran melirik mentornya sebelum dia mengangguk dan kembali menatap danau di depannya. Sekali lagi dia mencoba apa yang sudah dia lakukan tadi.      

Sembari Kiran sedang berusaha mengendalikan pusaran air di depannya, Shiro terus memandangi gadis itu.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.