Devil's Fruit (21+)

Prestasi Zevo



Prestasi Zevo

2Fruit 1140: Prestasi Zevo     
4

Revka mendongak dan menatap sepupunya untuk bertanya, "Gimana kalo Djanh menolak?"      

"Wah! Please lah kamu bujuk dia jangan ampe nolak, Mpok!" seru Andrea dengan wajah memohon.      

Dante kembali duduk di kursinya dan berkata, "Apakah kami bisa memberikan mahar pernikahan ke kalian sebagai orang tua Zevo?"      

Revka menatap sepupunya. Dia diam sejenak. Mahar? Bukankah itu artinya dia dan suaminya seperti merendahkan derajat mereka jika menerima mahar dari pihak mempelai perempuan? Memangnya mereka kurang apa sampai harus menerima mahar?      

Kerajaan Huvro adalah kerajaan besar dan kuat. Tidak memerlukan apapun lainnya karena yakin lebih kaya dari kerajaan lainnya. Itulah kenapa mereka disebut kerajaan nomor satu dalam dunia iblis Lust.      

"Aku bakalan rundingkan dulu ama Djanh." Revka menatap sepupunya. "Ini mengenai apakah kami menyetujui pernikahan Zevo dan Kuro, bukan soal mahar. Aku yakin suamiku pun bakalan menolak mahar yang kalian tawarkan." Ya, dia yakin begitu.      

"Bisakah kamu hubungi suamimu sekarang, Revka?" pinta Dante. "Mungkin akan lebih enak kalau aku bisa bicara langsung padanya. Mungkin sesama lelaki akan lebih enak mengobrol berdua." Dante berharap begitu.      

Kepala Revka menggeleng. "Aku gak yakin dia mau datang karena dia sedang mengurus sesuatu di Huvro. Ini saja aku sudah seminggu lebih mengurus kerjaan dia untuk menggantikan peran dia di sini."      

"Apakah aku sedang dirindukan dan didambakan?" Tiba-tiba sebuah suara terdengar di ruangan itu disertai ruang waktu yang terdistorsi di dekat Revka.      

Pangeran Djanh datang.      

Revka terkejut dengan kehadiran suaminya yang sangat mendadak tanpa ada pemberitahuan. "Kau!"      

Sang pangeran Incubus memeluk istrinya dan mengecup kepalanya. "Ha ha ha ... kenapa, honey? Apakah kau sudah sangat merindukan aku sampai aku bisa merasakan denyutanmu dari Underworld?" Tangannya secara seenaknya meremas pantat Revka.      

Plak!      

Revka menampar tangan nakal suaminya. "Jangan halu!" Tapi wajahnya merah padam.      

"Jangan khawatir, nanti akan aku puaskan kau tiga hari tiga malam, oke?" bisiknya di telinga sang istri.      

"Kau!" Revka benar-benar kehilangan kata-kata jika suaminya sudah kambuh mesumnya. "Heh! Kenapa muncul tiba-tiba? Aku kan jadi malu ke mereka! Mana aku sudah bilang kalau kau sibuk! Ugghh! Seketika aku merasa kredibilitas ucapanku tidak berharga." Ia merajuk dan cemberut.      

"Ha ha ha ... oleh karena itu aku katakan aku akan melunasi itu selama tiga hari tiga malam, hunny bunny kitty." Pangeran Djanh seolah merasa hanya ada dia dan Revka saja di sana.      

"Ehem!" Terdengar deheman keras dari Andrea. "Tuan Pangeran Djanh, Anda tidak bermaksud mengatakan kalau aku dan suamiku ini cuma angin sepoi-sepoi aja di sini, kan?" sindirnya. "Tolong jangan perlihatkan kehidupan mesum kalian di depan kami atau suamiku akan meminta jatah lagi setelah ini."      

"Ohh, ha ha ... tentu saja tidak masalah kalau memang dia menginginkan itu, ya kan Tuan Putri? Atau jangan-jangan kau tidak suka suamimu berhasrat tiada henti pada dirimu." Pangeran Djanh malah menggoda Andrea.      

Lekas saja Andrea memalingkan pandangan ke arah lain sambil mengulum bibirnya, tak bisa berkata apa-apa.      

"Tuan Pangeran Djanh, karena kau sudah hadir di sini, maka tentu tidak keberatan jika kami ingin membicarakan sesuatu denganmu, kan?" Dante segera berbicara daripada mereka membuang waktu.      

-0-0-0-0-      

"Mama, aku sungguh-sungguh tidak apa-apa kalau memang orang tua Zevo tidak merestui aku." Kuro memeluk lengan Andrea pagi hari itu.      

Kemarin Andrea dan Dante telah kembali ke Cosmo dan tidak mengatakan apa-apa sehubungan dengan kedua orang tua Zevo terhadap rencana pernikahan Kuro dan Zevo.      

"Udah, kamu tenang anteng aja di sini, yak!" Andrea mengelus rambut putri hybrid dia. Terkadang jika sudah begini, Andrea berharap Ivy bisa semanja Kuro. Alangkah bahagianya jika memang demikian.      

Sementara di tempat lain, di Pondok Senjata, Zevo terlihat lesu.      

Jovano yang sedang menempa senjata pun melirik ke sahabatnya. "Bro, ada apa lagi?"      

"Hghh ... aku khawatir kalau orang tuaku nggak merestui aku dan Kuro, Jo. Gimana kalau mereka kayak gitu? Gimana kalau mereka nggak suka Kuro?" Wajahnya lesunya menggambarkan kecemasan.      

"Udahlah, pede aja, bro! Mana mungkin sih orang tuamu bakalan bikin kamu sengsara dengan kagak kasi restu? Lagian, Kak Kuro itu spesial. Meski dia beast tapi jenisnya istimewa. Mana mungkin dia gak sebanding denganmu?" Jovano sepertinya paham dengan kecemasan sang sahabat.      

Jovano bisa memahami bangsawan yang biasanya menginginkan anaknya menikah dan berpasangan dengan orang yang satu level dengan mereka. Atau lebih bagus lagi jika di atas mereka!      

Tapi terkadang, cinta tidak disiapkan dengan tingkat level dan kasta apapun.      

"Aku nggak mau nikah dengan selain Kuro, bro!" Kepala Zevo terkulai di atas meja. "Aku bakalan benci orang tuaku kalau mereka sampai menghalangi aku dan Kuro."      

"Anak durhaka! Kau berani berkata seperti itu, hm?" Sebuah suara muncul di ambang pintu Pondok Senjata. Wajah tersenyum Pangeran Djanh yang khas sudah ada di sana.      

"Pa-Papa!" Zevo hampir tersedak salivanya sendiri ketika melihat kehadiran ayahnya. "Mama!" Berikut juga dengan kehadiran sang ibu. "Kalian ...."      

Revka mendekati Zevo yang sudah berdiri dan menjewer telinga si sulung. "Kau berani hendak membenci aku dan Djanh, orang tuamu? Heh? Anak nakal! Minta aku masukkan lagi ke rahimku, heh?!"      

"Adududuh, Ma! Aduh, maaf, Ma! Maaf! Maafkan aku yang ngomong sembarangan." Zevo tahu dia tidak mungkin bisa melawan kegaharan ibunya. Sejak dulu sudah begitu. Menurutnya, sang ibu justru lebih menakutkan ketimbang ayahnya.      

Revka melepaskan jeweran dia dan Zevo langsung merintih sambil usap-usap telinganya. Tindakan ibunya tadi tidak main-main, loh! Sungguh sakit sampai Zevo takut telinganya bisa terlepas.      

"Uncle ... Aunty ..." sapa Jovano dengan sopan sambil dia menundukkan kepalanya ke Pangeran Djanh dan Revka. Ia juga sudah menghentikan pekerjaannya begitu dua orang tua Zevo muncul di pintu.      

Kedua orang dewasa itu membalas anggukan kepala Jovano.      

Pangeran Djanh berjalan mendekati Jovano. "Apakah kau sedang membuat senjata, Pangeran Muda?" Lalu matanya melirik ke arah tungku tempa di dekat Jovano.      

"Ahh, iya Uncle! Hanya sekedar coba-coba saja mumpung sedang ingin memperbanyak pengalaman di bidang ini." Jovano merendah.      

"Apakah itu mata tombak?" tanya Pangeran Djanh sambil meneliti benda di atas tungku tempa dengan menggunakan matanya yang awas.      

"Iya, Uncle. Sedang ingin membuat tombak." Jovano menjawab.      

"Ma, Pa, Jo ini hebat loh! Dia membuat senjata-senjata untuk aku dan yang lainnya. Nih lihat! Golok hitamku!" Zevo langsung mengeluarkan senjata buatan Jovano dan dipamerkan di depan orang tuanya.      

"Hm, aku yakin ini golok bermutu tinggi. Sudah terlihat dari sekilas pandang saja." Pangeran Djanh mengakui golok itu meski hanya dari tatapan saja.      

"Ya, kan! Jo memang hebat, Pa! Senjata-senjata buatan dia kuat dan mengerikan efeknya!" Zevo malah bersemangat memuji sahabat dia di depan orang tuanya.      

"Lalu kau sudah membuat apa, Nak?" Pangeran Djanh mengerling ke putranya. "Apa kehebatan yang telah kau buat, hm?"      

Lidah Zevo mendadak kelu. "Itu ... aku ...." Ia gugup. Yah, selama ini memangnya apa yang sudah dia perbuat untuk bisa membuat kebanggaan bagi dirinya sendiri?      

"Papa tau. Kau sudah membuat anak orang tergila-gila padamu!" seru Pangeran Djanh dengan balutan nada beraroma sindiran kepada putranya. "Sungguh prestasi luar biasa darimu, Nak!"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.