Devil's Fruit (21+)

Bisa Lebih Bengis



Bisa Lebih Bengis

4Fruit 1160: Bisa Lebih Bengis      1

Andrea masih saja tertegun di kamarnya. Dante pun masih terus menemaninya, tidak beranjak meninggalkan sang istri sendirian.      

Menyadari suaminya terus bersama dia, Andrea pun menoleh ke Dante dan berkata, "Mengapa Ivy harus begitu, yah Dan? Apakah aku dan Gio udah salah asuh sehingga akhirnya dia malah jadi begitu?"      

Dante menjangkau istrinya untuk dipeluk. "Jangan beranggapan ngawur begitu. Aku percaya kalian sudah melakukan yang terbaik dalam mengasuh Ivy."      

"Tapi, liat deh, hasilnya malah kayak gini, Dan. Sedih banget! Aku ngerasa gagal. Sangat amat gagal." Andrea menyamankan diri dalam pelukan suaminya.      

Tangan Dante mengelus lembut rambut istrinya sambil dia berkata, "Yah, terkadang sebaik apapun kita mengasuh anak, namun kita tidak 24 jam mendampingi dia, kan? Peran teman dan lingkungan sekitar dia pun juga bisa mempengaruhi dirinya."      

"Kalau tau dia bakalan sekacau itu, lebih baik aku kagak sadarkan dia waktu dia sempat dibekukan dulu itu." Andrea mulai menyesali itu. Menurut pemikiran dia, jika Ivy selamanya ditidurkan, mungkin tidak perlu ada kejadian mengecewakan begini oleh Ivy.      

"Tidak ada orang di dunia ini yang bisa mengetahui masa depan kecuali memang diberikan wewenang untuk mengetahuinya oleh sang Big Boss." Dante menepuk-nepuk lembut lengan istrinya.      

Andrea diam saja tidak memberikan tanggapan apapun. Dia juga setuju dengan perkataan suaminya. Bahwa sebaik apapun orang tua berusaha membina anak-anak mereka, namun terkadang lingkungan teman dan sekitarnya bisa memudarkan ajaran baik dari orang tua.      

Yah, memang kadang semua itu tergantung dari kepribadian masing-masing anaknya. Semua anak sudah memiliki jalan nasib sendiri-sendiri.      

Hanya di tangan si anak itu sendiri, dia bisa memilih akan menjadi warna apa nantinya.      

Karena Andrea masih terdiam dalam pelukannya, Dante menyambung lagi, "Maka dari itu, sayank, ketimbang kau hanya bersedih saja, bagaimana kalau kau melakukan sesuatu yang berguna?"      

Andrea bangkit keluar dari pelukan suaminya dan menatap mata Dante. "Apa yang kira-kira perlu aku lakukan, Dan?"      

"Yah, kamu kan sudah mengetahui apa yang tadi diharapkan rekan-rekan tim kita di ruang makan." Dante mengusap penuh sayang wajah ayu istrinya.      

"Um." Andrea mengangguk, teringat yang tadi sempat dikatakan Jovano dan Kuro. "Membuat sesuatu yang seperti Peek a Boom tapi tidak sekejam Peek a Boom."      

"Ya. Coba fokuskan dirimu pada itu. Tentunya hal demikian lebih berguna ketimbang kau terus bersedih menyesali diri, ya kan?" Dante tersenyum hangat. "Bersedih boleh saja sebagai makhluk hidup yang memiliki emosi, tapi jangan berlarut-larut. Lekaslah bangkit berdiri dan mencari solusi terbaik untuk yang terbaik."      

Mendengar tidak ada yang salah dari ucapan suaminya, Andrea mengangguk lagi. "Aku akan berusaha membuat sesuatu yang berguna untuk kita semua." Matanya mulai berkilat akan bara semangat.      

"Begitu baru namanya istriku tercinta yang hebat ini." Dante meraih kepala Andrea untuk dikecup.      

Baru saja mereka saling tersenyum, pintu kamar diketuk.      

"Masuk." Andrea mempersilahkan. Dia sudah mengetahui siapa di depan pintu.      

"Mama? Papa?" Kuro sudah ada di celah pintu, melongokkan kepalanya dahulu untuk memastikan kedua orang tua angkatnya tidak sedang dalam aktivitas intim, agar dia tidak perlu mengganggu mereka.      

"Sini, sayank!" panggil Andrea pada anak hybrid hitamnya.      

Kuro jadi tak enak hati sendiri, apalagi sang mama tersenyum manis dan lembut padanya. Padahal dia tadi berbicara seenaknya tanpa memedulikan perasaan sang mama angkat. "Ma ... Mama, aku minta maaf."      

Si hybrid hitam segera menerjang menubruk Andrea, memeluk tubuh ibu angkatnya.      

"Ehh? Ada apa, nih? Kenapa?" Andrea bingung sambil memegang pipi sang hybrid.      

"Mama pasti tadi marah karena aku bicara jelek tentang Ivy." Kuro menatap Andrea disertai mata berkaca-kaca hendak menangis.      

Andrea terkekeh kecil dan menjawab, "Tidak, kok!"      

Lalu kedua wanita beda ras itupun saling bicara hati ke hati di bawah tatapan sayang Dante.      

-0-0-0-0-      

"Pangeran, apakah Anda masih hendak memerintahkan kepada semua prajurit untuk menelan Mata-mata Peledak?" tanya seorang panglima iblis kerajaan Huvro pada Pangeran Djanh.      

"Tentu saja! Kenapa hal itu harus dipertanyakan lagi, heh?" Pangeran Djanh menjawab dengan aura gusar.      

"Ampuni hamba yang bodoh ini, Pangeran!" Panglima itu segera tersungkur di hadapan Pangeran Djanh. "Hamba salah menanyakan itu! Hamba pantas mati."      

Burrffhh!      

Usai si panglima berkata demikian, tubuhnya telah dilahap api hitam. Ia segera berteriak keras kesakitan sebelum akhirnya lenyap menjadi abu.      

"Tsk! Djanh, untuk apa kau sampai membunuh dia?" Revka di sebelah Pangeran Djanh berkata seolah sedang menasehati suaminya.      

"Loh, dia bilang sendiri bahwa dia pantas mati, yah aku setujui saja ucapan dia." Pangeran Djanh membalas ucapan istrinya.      

Revka jarang mendapati sang suami dalam mode gusar seperti itu. Tidak biasanya Pangeran Djanh nampak ganas tanpa senyum nakal dan santai yang menjadi ciri khasnya.      

Oleh karena perubahan sang suami yang tidak biasa ini, Revka tidak ingin bicara sembarangan. Ia juga akan gentar andai Pangeran Djanh memarahinya. Maka dari itu, dia memilih diam saja usai mendengar ucapan suaminya.      

Sedangkan panglima lainnya yang ada di ruangan luas di kerajaan Huvro itu, mereka terdiam bisu tak berani berkata sepatah katapun, bahkan bernapas pun tak berani terlalu keras.      

Pangeran Djanh dalam mode marah itu sangat langka. Biasanya dia tetap akan menunjukkan sikap santai dengan senyum palsu meski marah. Namun jika sampai wajahnya saat ini tidak menunjukkan kepalsuan sama sekali, maka harus diwaspadai.      

"Perintahkan semua prajurit Huvro untuk menelan Mata-mata Peledak! Termasuk kalian para panglima dan jenderal!" seru Pangeran Djanh menggelegar tegas menyebabkan gema kencang di ruangan tersebut.      

Tanpa menunggu respon semua yang ada di sana, Pangeran Djanh pun pergi menghilang.      

Revka menghela napas melihat kelakuan suaminya. Ia kemudian menatap orang-orang di hadapannya dan berkata, "Ya sudah, lakukan saja seperti yang Pangeran Djanh perintahkan. Jangan menentang atau mati!" Lalu Revka menyusul suaminya.      

Tiba di ruang dalam istana utama Huvro, Pangeran Djanh duduk dengan raut masih memancarkan emosinya.      

"Nak." Sang ayah, King Huvr, mendekati putra kebanggaan dia. "Ada apa? Kenapa sepertinya Papa mendengar suara menggelegar darimu di aula utama?"      

Menghela napas sebentar, lalu Pangeran Djanh berujar, "Aku kesal karena banyak prajurit kita yang pada akhirnya dijadikan budak oleh putri dari si putri Cambion."      

King Huvr duduk menyebelahi putranya dan bertanya, "Si putri Cambion? Apakah itu anak Zardakh?"      

"Siapa lagi kalau bukan dia Cambion yang mendapatkan ketenaran besar di Underworld?" dengus Pangeran Djanh.      

"Jadi ... kau marah padanya?" tanya sang ayahanda.      

"Bukan padanya, tapi pada anaknya. Si bocah vampir sialan!" Pangeran Djanh kemudian menceritakan mengenai Ivy dan pergerakan kelompok vampir iblisnya.      

"Hm, memang meresahkan kalau memang seperti itu. Lalu ... bukankah kau sudah memerintahkan pada para ilmuwan kerajaan kita untuk membuat suatu alat? Apakah itu untuk melawan si bocah vampir sialan itu?" King Huvr memang mengetahui anaknya sedang menggiatkan pembuatan alat tertentu, namun tidak mengetahui dengan jelas alasan di balik itu.      

"Ya, aku terpaksa memerintahkan ilmuwan kita membuat alat itu sebelum prajurit kita habis direbut si bocah vampir sialan!" Pangeran Djanh nampak sangat membenci Ivy.      

Wajar saja Pangeran Djanh sangat marah karena prajurit kerajaan Huvro yang berhasil direbut Ivy mencapai ratusan. Ini tidak main-main.      

Dan, sebenarnya Pangeran Djanh ingin marah pada Andrea yang tidak lekas memberitahukan kepada dia mengenai tindakan Ivy. Tapi demi mempertimbangkan aliansi kerajaan mereka dan pertemanan dua belah pihak, dia masih menahan diri.      

"Ya sudah, relakan saja ratusan prajurit itu. Toh, kita masih punya ratusan juta lainnya, ya kan?" King Huvr menjawab santai. "Lalu, sekarang kau benar-benar ingin semua prajurit menelan alat itu?"      

"Ya, agar mereka, tidak satupun bisa mengkhianati kerajaan kita! Terlepas siapapun musuh kita nantinya." Pangeran Djanh meremas kepalan tangannya kuat-kuat.      

King Huvr mengangguk-angguk senang dan berkata lagi, "Aku akan menyuruh ilmuwan untuk menambahkan kemampuan lain dari alat itu. Yaitu akan memotong lidah prajurit yang berani berbicara buruk mengenai anggota istana ini."      

Pangeran Djanh terkekeh, tidak mengira ayahnya bisa lebih bengis darinya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.