Devil's Fruit (21+)

Suami Penyayang dan Putra Tegas



Suami Penyayang dan Putra Tegas

3Fruit 1177: Suami Penyayang dan Putra Tegas      0

Suara isak tangis Andrea masih terdengar di kamarnya. Berbarengan dengan itu, suara suaminya masih juga mengalun perlahan.      

"Sudah, sudah, dong sayank. Jangan menangis terus begini." Suara lembut Dante berbanding sejajar dengan sikap dia yang juga lembut mengelus istrinya.      

Andrea menggeleng. "Aku ... aku ini bego. Aku ... hiks ... aku payah!"     

"Tidak, tidak begitu, kok!" Dante menyangkal ucapan istrinya sambil terus mengelus rambut panjang Andrea dalam posisi sama-sama duduk di tepi ranjang.      

Sudah sejak kemarin Andrea terus menangis sambil terus berkubang di kamarnya, menolak keluar.      

"Yuk, kita keluar kamar untuk cari udara baru yang lebih segar," ajak Dante.      

"Gak mau ... gak mau, Dan ... aku malu ... aku malu ketemu Noir dan anak-anak mereka, hiks! Aku ini payah, Dan ...." Suara Andrea bergetar sambil mata basahnya bengkak karena menangis seharian.      

Dante meraih tubuh Andrea dan membawanya dalam dekapan dadanya. "Kenapa harus malu? Mereka semua khawatir ama kamu. Noir juga cemas karena kamu terus nangis dan mengurung diri di kamar."     

"Aku gak sanggup nemui mereka, Dan ... iya, aku ini emang pengecut, iya deh aku ngaku. Aku juga payah banget gak bisa cegah Bree ... Bree ... Bree ... hu hu huuu ...." Tangis Andrea makin mendalam ketika dia mengucapkan nama macan kesayangan dia.      

"Tidak akan ada yang menyebut kamu pengecut, sayank. Kamu berpikir terlalu jauh. Ayolah, jangan berburuk sangka dengan mereka," bujuk Dante untuk membesarkan hati istrinya. "Mereka semua sayang denganmu, sayank. Mereka peduli padamu."      

"Tapi gimana kalo nanti mereka akan benci aku?" Wajah basah dan mata bengkak Andrea tertuju pada Dante.      

Dengan lembut, tangan Dante mengusap pipi basah istrinya dan mengusap ingus yang mengalir dari hidung menggunakan tisu yang secara magis berada di tangannya. "Tentu saja tidak akan ada yang namanya mereka membenci kamu."     

"Nggak mung-"     

Andrea baru saja hendak bicara menyanggah ucapan Dante ketika sebuah suara terdengar di depan pintu kamarnya. "Mom." Tentu dari panggilan itu bisa ditebak siapa di sana. "Mom, aku masuk, yah!"     

Tidak menunggu jawaban dari ibunya, Jovano membuka pintu itu dan melangkah masuk ke dalam. Andrea dan Dante mengamati putra sulung mereka mendekat ke tempat tidur.      

"Mom, kenapa masih menangis?" tanya Jovano. "Dari kemarin suara tangis Mom terdengar ampe di luar, loh! Kita malah sedih dengarnya." Ia mulai duduk di tepi ranjang disertai tatapan dari kedua orang tuanya.     

"Tuh kan, sayank. Mereka ikut sedih karena kamu menangis." Dante turut mendukung kalimat putranya, berharap itu bisa memulihkan luka hati Andrea.      

"Mama bisa apa kalo begini, Jo?" tanya Andrea dengan suara sengaunya akibat ingus yang menumpuk di dalam hidung. Lehernya sebenarnya sudah sakit karena terus menangis sejak kemarin. Matanya juga sakit.  Tapi, yang paling sakit adalah hatinya.      

"Kami tahu Mom sedih dan sangat terpukul soal bibi Bree. Tapi daripada menangis terus begini, kenapa gak melakukan hal lainnya aja yang lebih berguna, Mom?" Jovano memberanikan diri mengucapkan kalimat tajam meski dengan suara lembut.      

"Seperti apa? Mama harus ngelakuin apa?" Sebenarnya Andrea hanya sedang melakukan pertanyaan retoris, tapi oleh sang putra, itu mendapatkan jawaban.      

Jovano menjawab, "Misalnya ... mengunjungi paman Noir dan anak-anak mereka karena mereka juga sedang bersedih, kehilangan bibi Bree dan 2 saudara mereka. Yah, Mom bisa juga mengunjungi makam Jena dan Trosta."      

Pancingan singkat dari Jovano kontan saja menimbulkan kekagetan dari Andrea, sampai si Cambion Hera lupa akan tangisnya. "Apa maksudnya makam Jena dan Trosta?"      

Andrea tentu tahu Jena dan Trosta. Itu adalah nama anak-anak dari Sabrina dan Noir. Trosta adalah anak generasi pertama dan Jena anak generasi kedua.      

"Jangan bilang-"     

"Ya, Mom. Keduanya menjadi korban vampir kemarin."      

Andrea makin menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah kembali basah. Dia semakin tidak berani menemui Noir dan anak-anaknya. Dia terlalu malu.      

Tapi, pemikiran itu sekelebat tersambung ke Jovano dan putra sulung itu berkata, "Mom, sampai kapan Mom akan menghindari mereka? Daripada terus menangis mengurung diri, kenapa Mom tidak mengunjungi mereka? Tunjukkan bahwa Mom adalah pemilik Cosmo yang bertanggung jawab!"     

"Jo." Dante memberikan suara teguran untuk putranya sembari mengirim kode melalui tatapan matanya agar anaknya jangan terlalu keras pada Andrea.      

Tapi Jovano menepiskan kode teguran dari ayahnya dan melanjutkan bicara, "Mom, jangan jadi pengecut. Mom sudah melibatkan mereka semua berada di sini dan menjadikan mereka serdadu Mom, jadi ... kalau memang sudah begitu, hadapi! Mom adalah panglima bagi mereka yang sudah Mom kontrak!"     

"Jo!" Dante terpaksa membentak putranya. Dia tentu saja memilih sang istri untuk dia bela jika harus memilih antara putra dan istrinya.      

"Maaf, Dad. Aku nggak bermaksud kurang ajar atau durhaka. Aku sayang ama Mom dan gak mau dia kayak gini terus." Jovano tidak surut akan apa yang dia pikirkan. "Kami semua sayang Mom dan kami berharap, Mom bisa mengatasi semua masalah ini. Kalau Mom ingin menjadi pengecut, itu sudah terlambat. Tim Blanche sudah terbentuk dan itu sudah tidak bisa seenaknya ditiadakan atau dibubarkan."     

Dante mendelik ke putranya. Lidah Jovano kali ini terlalu tajam mengkritik Andrea.      

Tapi, ketika Dante hendak mengatakan teguran lainnya untuk Jovano, Andrea mencegahnya. "Jo benar, Dan." Ia pun mengambil tisu menggunakan Mossa. Tisu lekas melesat melayang ke tangan Andrea akibat daya tarikan Mossa. Sang Cambion Hera mengusap wajah basahnya, lalu tisu lain diambil untuk membuang ingusnya. "Aku memang tidak tepat kalau ingin bertingkah pengecut."     

Jovano tersenyum lega atas ucapan ibunya. Sementara itu, Dante menghela napas, tak tahu harus menangis atau tertawa ketika sang istri justru bisa disadarkan oleh kata-kata tajam putranya dibandingkan kalimat-kalimat bujukan lembut darinya.      

"Ayo, aku ingin menjenguk Noir." Andrea pun beringsut bergerak ke tepi ranjang, hendak turun dari sana.     

Dante pun mengikutinya sembari berkata, "Sayank, rasanya aku kalah dengan anakku dalam hal membujukmu." Wajah kecutnya sengaja diperlihatkan dengan cara lucu.      

Jovano terkekeh. "Dad, itu wajar karena Dad ini terlalu sayank ama Mom ampe gak tega kalo marahin Mom."     

"Lalu ... artinya kamu lebih bisa tega ke Mom kamu ini, huh?" Andrea menjewer telinga sang putra. Dalam hatinya, dia bersyukur memiliki keluarga seperti ini. Suami yang sangat penyayang dan putra yang bisa menasehati dia apabila dia salah.      

Yah, sebagai orang tua tidak berarti sudah kebal terhadap kesalahan apapun, kan? Ada kalanya orang tua juga bisa keliru dan membutuhkan anaknya untuk menyadarkan mereka dari kesalahan.      

Andrea berjalan keluar kamar diiringi Dante dan Jovano. Mereka bertemu Vargana dan yang lainnya di ruang makan yang biasa dijadikan tempat berkumpul.      

"Aunty." Vargana dan Shona menyapa hampir bersamaan.      

"Mama! Mama!" Kuro menubruk ibunya.      

"Sebentar, sayank." Andrea menepuk lembut kepala putri hybrid yang berada di pelukannya. "Mama harus ke tempat Noir."      

Kuro mengangguk dan melepaskan ibu angkatnya, dan mereka bersama-sama pergi ke hunian khusus Noir dan keluarganya.      

"Noir ...." Andrea menyapa ketika dia membuka pintu hunian para big cats itu. Dia berdebar-debar, apakah nantinya dia akan menerima tatapan kebencian dari Noir dan anak-anaknya?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.