Devil's Fruit (21+)

Aku Cuma Bercanda



Aku Cuma Bercanda

1Fruit 849: Aku Cuma Bercanda      4

Dalam hitungan detik, banyak kepala sudah berjatuhan dan darah menyeruak keluar membuat genangan kolam merah yang indah.      

Jovano tidak bisa keluar dari tempat keluarnya api hitam dia untuk habis semua mayat di sana tanpa sisa.      

Sedangkan Ivy menjilati jemari yang berlumuran darah mereka. Bahkan sepertinya dia sangat menikmati momen tersebut.      

Setelah api hitam Jovano selesai memusnahkan mayat para preman tadi dan tak ada lagi sisa apapun bahkan tak ada bercak darah di sana, Jovano mulai menyingkirkan array penghalang.      

"Ivy, kamu ..." Jovano tak tau harus bicara apa pada adiknya saat itu dan akhirnya melanjutkan saja dengan kalimat acak. "Kamu gak kenapa-kenapa, kan?"      

Yah, apalagi yang bisa diucapkan Jovano jika dia melihat sendiri kelakuan sang adik. Yang tadinya dia ingin menegur tindakan ekstrim Ivy, tapi dia sadar bahwa sang adik tidak bisa ditegur secara lugas. Maka dari itu dia memilih kalimat lain.      

Ivy mendengar pertanyaan sang kakak dan hanya tersenyum sambil mengangkat bahunya secara santai sambil berkata, "Seperti yang Kak Jo lihat. Aku baik-baik saja dan justru mereka yang tidak baik-baik saja." Setelah itu, Ivy kembali berjalan dan menggandeng tangan Jovano. "Ayo, Kak. Mobil Kak Jo ada di depan sana, kan?"      

"Ahh, iya ... Ada di depan sana." Jovano menjawab secara canggung. Ia masih syok dengan apa yang dilakukan adiknya. Ivy yang dia kira sudah bisa terkontrol, ternyata bisa menjadi pembunuh berdarah dingin.      

Tapi, jikalau para preman tadi dibiarkan juga bukan merupakan hal yang baik, kan? Apakah Jovano harus setuju dengan pendapat ibunya bahwa membasmi orang-orang seperti itu justru bagus karena mengurangi populasi orang jahat di Tokyo.      

Tapi ... Tapi, kan ....      

Ahh, Jovano masih bingung harus berpikir bagaimana. Untuk kali ini, biarlah. Yang terpenting, adiknya selamat dan tidak ada saksi mata.     

Akan sangat bahaya dan runyam jika ternyata ada saksi mata.      

Ketika sampai di dalam mobil, setelah Jovano dan Ivy memakai sabuk pengaman, Jovano pun bertanya kepada Ivy sambil dia mulai meluncurkan mobil ke jalan raya. "Ivy, apakah kamu selalu berbuat seperti itu pada siapapun yang mengganggu kamu?"      

Kepala Ivy mengangguk. "Iya, Kak Jo. Kenapa? Kak Jo tidak suka?" Dia bertanya balik.      

Jovano harus serba berhati-hati jika berbicara pada Ivy. Gadis itu sangat sensitif perasaannya. Dia harus pintar-pintar memilih kata. "Bukannya Kak Jo tidak suka, sih. Tapi Kak Jo lebih khawatir ama kamu, Ivy."      

"Kenapa Kak Jo harus khawatir? Kak Jo bisa lihat sendiri, kan? Siapa yang sebenarnya harus dikhawatirkan? Aku sih tidak akan kenapa-kenapa karena aku kuat dan bisa jaga diri." Ivy menjawab sembari tatapan mata dia terarah ke depan, memandang lalu lintas Ginza yang lumayan padat petang ini.      

"Iya, Kak Jo sih percaya kalo Ivy kuat dan bisa melawan mereka semua. Cuma ... Yang Kak Jo khawatir itu justru jika ada orang lain tau perbuatan Ivy dan Ivy tidak menyadari kalau ada saksi mata di sana saat Ivy bertindak seperti tadi." Jovano menjelaskan. Berharap Ivy tidak salah paham.      

"Hmmm ..." Cuma itu respon Ivy terhadap ucapan kakak lelakinya.      

Jovano pun melanjutkan bicara, "Tadi makanya Kak Jo buru-buru pasang array penghalang, itu agar tidak ada satu orang lain pun yang bisa nonton kita tadi ngapain aja. Karena kalau hal itu ketahuan orang lain, yang berabe gak cuma Ivy aja, sayank. Tapi semua orang terdekat Ivy bisa terseret. Seperti Kak Jo, Mom, Dad, Zizi, dan juga yang lainnya. Itu bisa membahayakan kita semua. Gak cuma Ivy. Paham, kan sayank?" Ia sampai menjelaskan sejelas itu.      

Memang yang disampaikan Jovano adalah hal yang masuk akal, kan? Jika ada saksi mata atau cctv yang tidak diketahui Ivy, dan kejadian aneh di mata manusia itu tersebar luas, bisa saja Ivy diburu dan dicari-cari.      

Lebih parah lagi jika ada yang mengenali bahwa itu adalah Ivy, anak dari Andrea, pemilik Tropiza, Schubert, dan Joglo Fiesta. Bukankah itu akan menjadi bola panas yang mengerikan?     

Tapi Ivy seolah-olah meremehkan hal-hal demikian. Apa dia tidak tau konsekuensi apabila dirinya terekspos? Jika dia ketahuan, maka yang lain juga akan ketahuan. Lalu keadaan bisa runyam untuk semua orang. Itu yang dikhawatirkan oleh Jovano.      

"Kak Jo sebenarnya khawatir ke aku atau ke yang lainnya, sih? Kok kesan yang aku tangkap ... Kak Jo justru khawatir ke yang lain kalau aku tertangkap basah oleh orang lain." Kini arah pandangan Ivy tertuju telak ke Jovano, memandang tegas ke mata sang kakak lelaki.      

Jovano yang sadar dirinya sedang dipandang tajam pun menoleh dan lekas mencari kata-kata yang tepat. "Kan tadi Kak Jo udah bilang kalo Kak Jo khawatir ama Ivy. Kak Jo nyebut itu duluan, loh!" Ia berikan tatapan sayang ke adiknya.      

Ivy hanya angkat bahu dan alihkan pandangan ke luar lagi.      

"Ivy, Ivy sayank-nya Kak Jo ..." Jovano mencoba membujuk sang adik. "Gini loh. Misalkan Ivy ketahuan, lalu orang-orang banyak ingin tangkap Ivy, kan gak mungkin Ivy bakal bunuh mereka semua, ya kan? Manusia akan menganggap Ivy sebagai monster. Kak Jo gak mau adik kesayangannya Kak Jo dibilang monster."      

"Yah, kalau mereka ingin tangkap aku, tinggal bunuh saja mereka semua seperti tadi. Untuk apa bingung?" Ivy secara santai mengucapkan itu. "Kalau ada saksi mata, yah bunuh saja. Dan itu juga yang aku lakukan, kok."      

Jovano melongo sampai nyaris menabrak mobil di depannya. Untung rem lekas bekerja sempurna. "W-what?! Ivy!" Jovano sampai bingung harus berkomentar apa jika adiknya sudah bicara seperti itu. Apakah Ivy benar-benar membunuh semua pengganggu dia termasuk juga para saksi mata?     

Jovano merasa hal ini harus benar-benar didiskusikan dengan keluarganya. Ibu dan ayah dia harus mengetahui apa yang sudah dilakukan Ivy. Tidak bisa terus dibiarkan. Dia tidak ingin adiknya tersesat. Dia tidak ingin adiknya menjadi sosok monster.      

"Kenapa, Kak Jo?" Ivy bertanya menggunakan nada bagai dia orang tidak bersalah. Mata bulat Ivy yang indah cemerlang sudah kembali berwarna hitam sekarang. Gadis cilik yang cantik itu menoleh dan menatap sang kakak.      

"Ivy, kau tidak sedang bercanda dan mengerjai Kak Jo dengan ucapan kamu tadi, kan?" Jovano mencoba sekuat tenaga untuk berkata sehalus mungkin agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi sang adik.      

"Menurut Kak Jo, bagaimana?" Ivy malah balik bertanya.      

Jovano gemas. "Ivy. Hm, kalau memang itu sudah terjadi, ya sudah. Tapi itu cukup. Enough. Jangan lakukan lagi. Mulai sekarang, kalau Ivy ingin pergi keluar rumah, bilang ma Kak Jo, pasti akan Kak Jo antar. Oke?"      

Ivy tergelak kecil. Lalu berkata, "Kak Jo serius sekali. Aku cuma bercanda."      

"Serius kamu bercanda?" tanya Jovano sungguh-sungguh.      

Ivy mengulum senyumnya dan menatap ke depan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.