Devil's Fruit (21+)

Sebenarnya Ketahuan



Sebenarnya Ketahuan

0Fruit 850: Sebenarnya Ketahuan     
4

Selesai mengantar Ivy berbelanja, kini mereka sudah memasuki area mansion mereka. Mobil melewati dulu gerbang mansion dan kemudian meluncur melewati barisan beberapa tanaman berwarna biru sepanjang beberapa ratus meter sebelum akhirnya tiba di carport depan.      

"Ivy turun dulu, gih! Kak Jo mo masukin dulu mobil ke garasi," pinta Jovano ke adiknya.      

Seperti biasa, Ivy mengangguk patuh jika itu adalah Jovano yang meminta. Biasanya dia memang lebih mau mendengarkan ucapan Jovano ketimbang yang lainnya.     

Setelah Jovano memasukkan mobil jeep dia ke dalam garasi luas di samping mansion, dia pun berjalan ke teras dan mendapati Ivy masih berdiri di sana. "Menunggu Kak Jo?"     

Ivy tersenyum sambil mengangguk, lalu menggamit lagi lengan sang kakak, memasuki hunian mereka.      

Di dalam, mereka bertemu dengan Shelly yang sedang membaca majalah di ruang tengah. "Ehh, Ivy dan Jo udah pulang. Dari mana aja? Kok lama? Tuh dicari ama Mama kalian."     

"Dicari Mom?" tanya Jovano. "Bukannya tadi aku sudah pamit ke Mom akan pergi dengan Ivy?" Ia memiringkan kepalanya, heran, tapi kemudian bicara ke Shelly, "Thanks, Aunty."     

"Oke, Jo." Shelly meneruskan membaca majalah namun matanya melirik ke arah Ivy sekali dan hatinya terheran-heran dengan dandanan Ivy yang seperti itu saja akhir-akhir ini.      

Ivy yang merasakan dirinya sedang ditatap, hanya mengangkat alisnya dan berlagak tidak perduli. Dengan ibunya sendiri saja dia bisa tidak perduli, apalagi ini hanya Shelly.      

Setiba di lantai atas, Ivy pamit ke kamarnya sendiri dan Jovano mengangguk sebelum dia mendatangi kamar orang tuanya.      

Ketika masuk ke dalam kamar itu, Jovano hanya mendapati sang ayah saja.      

"Ohh, Mama kamu lagi di taman belakang ama Veve. Biasa mereka kalo malam suka jalan-jalan di sana." Sang ayah, Dante, mengatakan. "Sebentar, aku panggil dulu mereka."      

Kemudian, Tuan Nephilim terdiam beberapa saat. Rupanya dia sedang melakukan telepati ke istrinya.      

Tak sampai menit berikutnya, Andrea dan Zivena sudah muncul di kamar tersebut. "Jo. Udah pulang yah ternyata." Andrea menyapa anak sulungnya. "Dari mana?"      

Jovano duduk di sofa kamar tersebut. "Dari Ginza, temani Ivy nyari sepatu."      

Segera saja Andrea membuat array penghalang di kamar tersebut sehingga tidak ada makhluk manapun bisa mendengar pembicaraan mereka. Dia juga tak lupa mengedarkan kekuatan sniffer dia, kekuatan untuk merasakan aura seseorang layaknya radar.      

"Sekarang, cerita ke Mama, ngapain aja kamu ma Ivy di sana." Andrea yang memiliki insting seorang ibu, tau raut gelisah anaknya itu.      

Karena Jovano yakin ibunya sudah membangun array penghalang, maka dia bisa bebas menceritakan semua kejadian yang dia alami tadi bersama Ivy.      

Usai mendengarkan cerita anak sulungnya, Dante dan Andrea sangat terkejut. Meski mereka sudah tau kelakuan Ivy yang kadang membunuh orang yang mengganggu dia dari iblis suruhan Andrea, tapi mendengar sendiri dari Jovano yang bisa menceritakan secara detail itu sungguh mengejutkan.      

Tuan Nephilim dan Nyonya Cambion pun terdiam sejenak usai mendengar cerita Jovano.      

Zivena yang pertama kali bersuara. "Kita tidak bisa membiarkan Kak Ivy begitu terus. Kak Ivy butuh dinasehati. Agar dia tidak semakin menggila." Dia menatap kedua orang tuanya bergantian.      

Andrea memandang Dante. "Enaknya kita harus gimana, nih Dan?"      

"Hm, Ivy memang tidak bisa selamanya dibiarkan begitu. Dan aku setuju dengan Jo bahwa kelakuan Ivy yang seperti itu sungguh membahayakan dia dan juga kita di sini." Tuan Nephilim berkomentar.     

"Hmm ... Iya, sih. Memang harus sudah diberi nasehat setelah kita selama ini diam meski memperhatikan." Andrea mengangguk setuju akan ucapan sang suami.     

"Tapi tentu juga kita harus ingat bagaimana temperamen Ivy. Kita harus melakukan secara tepat agar bisa masuk dan dia renungi bahwa nasehat dari kita adalah benar." Sang Nephilim menambahkan.      

Nyonya Cambion pun manggut-manggut sambil berpikir. Siapapun juga pasti tau, lebih mudah mengatakan ketimbang melakukan, karena lidah lebih luwes bergoyang ketimbang tangan dan kaki.      

"Mungkin harus melakukan itu melalui Jo." Andrea mendapatkan konklusi.      

"Aku sudah mencoba tadi, Mom." Jovano berucap. "Dan sepertinya akan membutuhkan jalan panjang untuk bisa menyadarkan Ivy tentang hal itu. Entah sepanjang apa jalan itu nantinya."      

"Kak Jo bisa coba terus setiap hari, Kak. Bagaimanapun kalau dicoba hari demi hari, bahkan batu pun akan terkikis." Zivena ikut menyumbang ide.      

"Wah, Zizi ampe paham soal batu segala. Ciyeee ..." goda sang ibu pada putri bungsunya.      

Zivena menatap Andrea dan berkata, "Mom, aku ini banyak wawasan. Sangat banyak yang aku punya di dalam otak kecilku ini." Ia sambil mengelus kepalanya sendiri dengan gerakan lucu.      

"He he, iya dong, anak Mama pasti hebat, seperti mamanya." Andrea tergelak kecil. Tapi kemudian raut wajah Nyonya Cambion berubah serius. "Ivy keluar kamar! Sepertinya dia nyari kamu, Jo! Gih sana balik ke kamarmu."      

Jovano segera menghilangkan dirinya dari kamar tersebut dan muncul di kamar dia sendiri, tepat ketika Ivy mengetuk kamar dan langsung membukanya. "Ivy! Honey! Ada apa, sweetie?" sapanya pada Ivy setengah berteriak karena hampir saja ketahuan.      

Kenapa lama kelamaan Jovano jadi lebih mirip jadi anak Pangeran Djanh, yah? Lidah dia sama seperti si pangeran Incubus itu, lidah gulali. Ini pasti dulunya Andrea diam-diam mendendam ke Pangeran Djanh ketika sedang hamil Jovano.      

Oke, kembali ke hal Ivy datang ke kamar Jovano. Gadis itu menorehkan senyum dia ketika menatap wajah sang kakak tampan dia. Sungguh, Jovano memang tampan.      

"Kak Jo." Ivy mendekati Jovano.      

"Ya, sayank?" Jovano membiarkan Ivy duduk di pangkuan dia dan bahkan dua lengan Ivy melingkar di lehernya.      

"Aku ingin berkonsultasi ke Kak Jo." Ivy berkata sambil bermanja duduk di pangkuan Jovano.      

"Konsultasi tentang apa, Ivy honey?" Jovano bersikap biasa saja meski jika orang lain menyaksikan adegan itu, orang pasti berpikir yang tidak-tidak.      

Tapi karena Ivy sudah terbiasa begitu dengan sang kakak, maka Jovano tidak merasakan apapun selain kedekatan antara kakak dan adik.      

"Konsultasi tentang kostum cosplay. Kak Jo kan tau tempat untuk memesan sepatu secara custom-made." Ivy menatap lekat manik mata kakaknya. "Yang Kak Jo bilang tadi sewaktu kita di Ginza."      

"Ahh, iya benar. Yang itu, ya?" Jovano mengangguk. "Ivy bisa aku kasi link situsnya agar kamu bisa liat-liat gimana gawean dia. Bagus-bagus, kok! Banyak teman Kak Jo yang biasa mainan cosplay pada lari ke dia kalo ada item yang susah dicari. Nanti kamu coba aja sendiri liat ke website dia. Trus kamu bisa ngobrol sendiri ma orangnya untuk diskusikan bersama tentang desain kamu."      

"Oke." Ivy setuju dan mengangguk. Ivy mengangguk. "Kak Jo, Kak Jo sudah dari tadi di kamar, yah?"      

"Iya, Ivy. Kenapa?" Jovano terpaksa berbohong.     

"Tidak apa-apa, Kak Jo. Aku cuma tanya." Ivy mengulum senyumnya. Yang Jovano tidak mengerti, bahwa senyum simpul Ivy menandakan sesuatu.      

Bahwa tadi dia tau kakaknya baru muncul di kamar tepat sebelum dia masuk ke kamar tersebut. Jangan lupa bahwa dia punya indera penciuman tajam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.