Devil's Fruit (21+)

Membicarakannya



Membicarakannya

3Fruit 855: Membicarakannya     0

Beberapa minggu kemudian, setelah gedung Talent House Adora selesai disiapkan dan telah dilengkapi dengan banyak piranti pendukung untuk tiga macam divisi, maka Andrea pun mendatangi Ivy di kamarnya.      

"Ivy, hai hai, hime cantik." Andrea selesai mengetuk pintu dan langsung membukanya.      

Si putri sulung sedang mengetik sesuatu pada laptopnya dan memandang ke ibunya yang muncul dari balik pintu. Gadis itu berkata, "Hm."      

Meski hanya satu kata irit tersebut, namun wajahnya tidak sedingin biasanya. Kini hanya ada raut normal saja. Dan hal itu membuat Andrea merasa nyaman dan percaya diri.      

"Hime, sedang apa? Mama ganggu, apa enggak?" Andrea mendekati putrinya.      

"Tidak. Hanya mengetik tak penting." Ivy berujar. "Mama kalau mau bicara, yah bicara saja." Sang putri sulung langsung tepat pada sasaran.      

Andrea meringis, seakan ketahuan apa yang hendak dia lakukan sebenarnya di sini. "Gini, Ivy sayank ..." Andrea mulai duduk di tepi ranjang sang putri. "Mama kan baru tau nih hobi kamu ternyata main cosplay. Nah, karena Mama dukung kamu dan kreativitas kamu, Mama udah buatin sebuah tempat yang cocok banget untuk kamu dan hobi kamu." Ia berbicara seperlahan mungkin karena tidak ingin anaknya salah dengar dan salah tangkap.      

Meskipun Ivy sebenarnya sudah mengetahui mengenai hal apa yang akan dibicarakan oleh sang ibunda, ia masih juga bertingkah seakan belum mengetahui apa-apa. "Tempat? Tempat apa?" Ivy pun memutar posisi duduknya menghadap ke Andrea.      

"Gini, Mama tuh beli bangunan 3 lantai di Ginza, deket ama Tropiza kita. Deket banget, dah! Nah, gedung itu sih rencananya Mama kepingin untuk tempat kamu nyalurin hobi dan passion kamu di cosplay." Andrea memberikan kalimat pembuka.      

Ivy masih berakting seolah heran dan bingung dengan memainkan gerak mimik mukanya, meski tidak berlebihan. "Gedung 3 lantai? Pasti besar, ya kan?"      

"Iya, sih. Besar. Emang besar. Tapi, Mama pikir itu sepadan kok kalo anak Mama bisa menuangkan aktivitas kamu di sana. Itu tuh Mama kasi nama Talent House Adora." Andrea menyebutkan nama dari gedung yang dia bangun.      

"Talent house?" Ivy masih kerutkan keningnya.      

"Iya." Andrea mengangguk. "Benar, sayank. Di sana tuh Mama bakalan isi dengan ruangan-ruangan untuk menampung orang-orang muda yang kepingin belajar tentang cosplay, belajar jadi pengisi suara atau seiyuu, dan ada juga belajar nyanyi yang asik untuk isi soundtrack, dan juga bisa belajar nge-dance kayak orang-orang K-Pop."      

Ivy kerutkan bibirnya sekarang. "Dance? K-Pop? Apa Mama mau bikin agensi kah?"      

"Belom mengarah ke sana, sih sayank. Mama hanya ingin menampung dan mempersilahkan bakat-bakat muda untuk mengeksplorasi bakat dan minat mereka. Mama cuma sediakan tempat dan sarana prasarana aja. Tapi kalo misalkan mereka dilirik perusahaan gede di bidang yang mereka pelajari, yah Mama bakal support mereka banget, gitu." Andrea sudah merasa nyaman bicara banyak dengan Ivy meski si putri tampak masih menjaga jarak, namun ini sudah lebih baik dari sebelumnya.      

"Jadi, mau Mama apa sebenarnya?" Pertanyaan yang diucapkan dengan nada santai dari Ivy pun tetap terdengar penuh waspada. Kadang di sinilah Andrea ingin menangis. Ibu kandung tapi sangat susah mendekati anaknya sendiri.      

Andrea berdehem sebentar untuk melegakan tenggorokan dia. Entah karena grogi atau memang butuh minum. "Mama sih berharapnya tuh Ivy ikut di sana, jadi anggota, sering datang ke sana. Yah, gitulah."     

"Kalau misalkan aku tak mau?" tanya Ivy.      

Seketika, Andrea terdiam. Nah ini. Ini, nih! Meski sudah mempersiapkan hati dan mental pada pembahasan mengenai yang ini, namun ketika diucapkan oleh anaknya yang bersangkutan, hatinya tetap berdesir nyeri.      

"Gimana, Ma, kalo aku nggak mau?" Ivy mengulangi pertanyaannya.      

Setelah menelan saliva, Andrea pun menjawab, "Yah, andai Ivy nggak mau ama tempat yang udah Mama siapkan dan bikinin buat kamu, yah mo gimana lagi? Mama akan tetap jalankan usaha itu, sih!"      

Mengucapkan kalimat itu saja sudah membuat hati Andrea sakit. Berapa banyak usaha dia untuk Ivy? Dari usaha tenaga, waktu, perhatian, dan juga uang ... Sudah berapa banyak jerih payah Andrea untuk bisa dekat dengan Ivy?      

Sangat banyak!      

Namun, si bocah seakan terus menguji kesabaran ibunya. Mungkin jika anak Andrea hanya Ivy seorang, Andrea sudah sangat patah hati hingga malas hidup lagi saking kecewanya.     

Ivy tau pergolakan batin ibunya akan ucapan dia. Ia pun menyahut, "Tenang saja, aku mau, kok! Kalau tempatnya oke, aku bisa pikirkan untuk sering datang ke sana."      

Andai ini adalah Jovano atau Zivena, Andrea mungkin sudah menubruk dan mengunyel-unyel rambut serta pipi si anak. Tapi karena itu adalah Ivy, Andrea tidak berani bertindak sembrono.      

Ivy tentu masih memiliki pasca trauma yang dulu. Malah Andrea curiga jangan-jangan Ivy menderita PTSD.      

Tapi Ivy tidak pernah mau diajak ke psikiater kecuali oleh Jovano. Itupun hanya betah beberapa kali dan ngambek. "Aku tidak gila! Jangan perlakukan aku seperti orang gila!" Begitu ngambeknya Ivy saat itu.      

Kini setelah Andrea mendengar sendiri dari mulut Ivy bahwa gadis itu mau menerima gedung yang akar idenya dari kehendak sang ibu ingin berdekatan dengan putrinya, Andrea begitu plong. Lega.      

Gyuut~      

Tak bisa dibendung lagi, Andrea meraih Ivy yang masih duduk untuk dipeluk erat penuh gembira meski tidak berani berlebihan. "Makasih, ya sayank. Makasih. Mama makasih banget kamu mau nerima ide Mama. Semoga tempat itu nanti banyak yang gabung, yah! Biar Ivy juga punya tambahan teman yang satu hobi."      

Ivy tidak menolak dipeluk ibunya. Oke, dia menghargai usaha sang ibu dan tidak menolaknya dia kali ini merupakan sebuah sikap kebaikan hati Ivy saja.      

Apakah Ivy angkuh? Arogan dengan ibunya sendiri? Bisa jadi.      

Dia masih memiliki luka yang menganga di hati dia sejak peristiwa penculikan itu dan apalagi ditambah sang ayah teridola dia belum juga kembali.      

Sebenarnya begitu banyak kekecewaan dan rasa sakit hati yang dipendam Ivy sejak saat itu. Dia yang introvert, jadi makin tertutup bahkan semakin buruk menjadi apatis dan kian anti sosial.      

Andrea berharap, dengan dia mendirikan tempat seperti Talent House Adora, Ivy bisa menyembuhkan anti sosial dia dan juga makin bisa berinteraksi dengan siapapun secara lebih baik.      

Banyak harapan dan impian yang Andrea gantungkan ke Talent House Adora mengenai Ivy.      

Semoga saja tidak mengecewakan hasil akhirnya. Selama ini apapun yang direncanakan Andrea selalu berhasil. Bisnis apapun sukses. Maka, bisalah jika dia juga berharap yang kali ini, terbaru ini, juga sukses seperti yang lainnya.      

"Apakah aku perlu mengundang teman-teman aku untuk masuk ke sana?" tanya Ivy.      

"Boleh aja kalo Ivy gak keberatan. Kalau Ivy tidak mau undang juga gak apa. Nanti biar Mama dan yang lainnya akan menyebar promo dan iklan mengenai Adora."      

Ivy mengangguk disertai wajah datar. "Oke."      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.