Devil's Fruit (21+)

Berjanji



Berjanji

2Fruit 900: Berjanji     2

Kemarin malam terjadi hal mengerikan pada salah satu juri kontes cosplay Original Character yang diikuti Ivy dan Nadin.      

Juri itu ditemukan tewas dengan lobang di dada kirinya dan itu seperti bukan ditusuk menggunakan pisau atau alat sejenis pipa besi karena tusukan di dada itu terkesan tidak rapi, alias berantakan.      

Saat diotopsi pun, bekas lubang itu terlalu aneh jika dikatakan dibuat oleh pisau stsu pipa. Karena memang berantakan dagingnya.      

Petugas forensik masih belum menemukan kira-kira senjata apa yang digunakan untuk membunuh sang juri.      

Disaat satu Jepang heboh dan bertanya-tanya mengenai motif dan senjata yang dipakai, Andrea dan Jovano serta Dante langsung paham siapa pelakunya.      

Jovano sangat mengenal pola sang adik sulung ketika mengeksekusi korbannya. Antara ditembus jantungnya atau ditebas lepas kepalanya.      

Ivy pernah mengatakan pada Jovano bahwa dia tidak suka menghisap darah para korban tanpa mengeksekusi mereka sampai mati.      

Jadi, jika Ivy sedang ingin menghisap darah korbannya, dia kan memastikan si korban benar-benar mati. Kata Ivy, dia tidak sudi korban dia menjadi vampir. "Terlalu enak bagi mereka jika berubah menjadi vampir." Begitu kata Ivy.      

Berdasarkan pemikiran itu, Jovano langsung masuk ke kamar adiknya itu di paginya untuk menginterogasi Ivy mengenai masalah ini.      

"Sweetie, apa kau melakukan sesuatu yang buruk ke salah satu juri kontes cosplay kemarin?" tanya Jovano dengan kalimat terstruktur agar tidak terkesan menuduh terang-terangan pada adiknya.     

"Juri yang mana, yah?" Ivy balik bertanya dengan wajah dibuat se-inosens mungkin.     

"Juri kontes cosplay kamu yang dikabarkan meninggal dibunuh tadi malam." Jovano memberikan sedikit rinci mengenai sosok yang dia maksud. Dia sendiri juga tidak mengingat nama juri itu.      

"Ohh, yang itu." Ivy menjawab santai.      

"Ivy ..."      

"Iya, itu hasil karya aku. Kenapa, Kak Jo?" Tatapan mata dengan riasan tebal itu menghujam ke netra Jovano.     

Seketika saja usai mendengar jawaban dari sang adik, Jovano merasa lututnya lunglai. Untung saja dia sudah duduk di kursi.      

Jovano tidak berharap adiknya benar-benar pelaku dari pembunuhan keji tersebut. Ia berharap adiknya menyangkal dan memberikan berbagai alasan kenapa itu bukanlah perbuatan Ivy. Tapi nyatanya ... sang adik mengakui perbuatannya.      

Tidak itu saja, pengakuannya juga terkesan tanpa merasa berdosa sama sekali. Jovano sedih kenapa adiknya jadi mengerikan seperti itu? Seperti monster.      

"Ivy ..." Lidah sang sulung terasa kelu.      

"Aku bahkan sudah eksekusi lainnya." Secara ajaib, Ivy mengatakan itu.      

"Ivy! Ivy sweetie ..." Jovano lekas tangkap bahu sang adik dan mencengkeramnya. "Sweetie, katakan ke Kak Jo, sudah ada berapa juri yang kamu ... bunuh?" Rasanya sangat berat bagi Jovano mengatakan kata 'bunuh' tadi. Karena dia tidak berharap itu sungguh terjadi.      

"Um, entah. Aku lupa." Ivy menjawab dengan tatapan mata polosnya. Dia dengan cepat mengubah aura dirinya dari tajam ke polos.      

"Sweetheart, tolong jangan bercanda." Jovano terlihat memohon dengan pandangan mata ke Ivy.      

"Serius, Kak. Aku sudah lupa apakah aku telah membunuh mereka semua atau masih ada yang dihidup." Wajah dibuat sepolos mungkin oleh Ivy.      

Jovano menundukkan kepala dan menghela napas. Dia paham kalau Ivy sudah begitu, artinya ada dua: dia memang seperti yang dikatakan, lupa. Atau dia sedang malas membicarakan. Jika didesak terus, Ivy akan mengamuk.      

Akhirnya, Jovano pun melepaskan Ivy dan dia pun keluar dari kamar tersebut untuk melangkah ke kamar orang tuanya dan membicarakan mengenai percakapan antara dia dan Ivy.      

"Astaga! Aku tak tau harus melakukan apa pada bocah itu!" Andrea meremas rambutnya secara frustrasi. Ia juga tidak menyangka Ivy begitu enteng mengakui perbuatannya.      

Apakah Ivy seorang psikopat? Tidak! Tidak! Andrea menjauhkan jauh-jauh pemikiran itu. Ia percaya pikiran adalah doa, dan dia lekas menghapus pikiran tadi dari otaknya agar tidak benar-benar terjadi.      

Di kamar lain, Ivy mendengar pembicaraan orang tua dia dengan sang kakak. Dia hanya angkat dua alis dia secara acuh tak acuh.      

Malam harinya, ketika sudah hampir larut tengah malam, ada kelebatan bayangan keluar dari mansion. Bayangan itu bergerak sangat cepat ke sebuah arah.      

Rupanya, bayangan yang memakai jubah serba hitam itu mengarah ke sebuah hunian.      

Hunian salah satu juri lainnya.      

Sayang sekali juri itu tinggal sendirian. Itu sangat memudahkan si bayangan hitam untuk beraksi.      

Usai memperlihatkan wajahnya di depan juri wanita tersebut, Ivy langsung menggigit leher wanita itu hingga leher si korban tinggal separuh bagian saja.      

Darah dimana-mana di sana.      

Setelah itu, bayangan hitam itu keluar secara kilat dari hunian itu ke tempat lainnya.      

Ketika tiba di hunian lain, ternyata rumah juri lainnya. Di sana juri itu sedang tidur bersama pasangannya.      

Saat bayangan itu hendak mendobrak masuk ke dalam, dia ditahan seorang sosok yang langsung memegang dan mengirim bayangan hitam ke sebuah alam.      

"Sweetheart, stop. Hentikan perbuatan kamu, Ivy." Sosok Jovano muncul di depan bayangan hitam yang ternyata adalah Ivy.      

Ivy membuka tudung mantel dia dan mengungkapkan penampilan dia yang mulutnya berlumur darah korban sebelumnya.      

Mata si gadis cilik itu menatap sekeliling dia. Ini bukan lagi Jepang, bahkan dia yakin ini sudah bukan di bumi lagi. "Ini di mana?"      

"Ini alam pribadi punya Kak Jo. Opa yang kasi ke Kak Jo, kemarin." Jovano berterus-terang.      

"Huh! Kakek tua itu memang tidak menyukai aku. Dia tidak pernah memberikan apapun yang keren untukku." Ivy menggerutu akan King Zardakh.      

Jovano hendak menasehati adiknya untuk lebih sopan pada kakek mereka, namun masih ada yang lebih penting untuk dibicarakan. "Ivy, kenapa kamu harus melakukan itu pada mereka?"      

"Hm ... hanya ingin saja." Ivy berkata seraya angkat bahunya.      

"Ivy, bisakah Kakak minta ke kamu?" Jovano sampai memohon karena dia tak tau lagi bagaimana cara menasehati Ivy jika sikap sang adik terkesan meremehkan segala hal.      

"Minta apa, Kak?" Ivy bertanya.      

"Minta kamu stop membunuh orang." Jovano menatap serius ke adiknya. "Bisakah kamu lakuin itu? Demi Kakak?"      

Ivy menatap lekat ke sang kakak. Hening sejenak di antara mereka. Jovano membiarkan adiknya untuk berpikir. Dia sekaligus ingin mengetahui apa yang akan dikatakan sang adik nanti.      

Jika nanti Ivy menolak permintaan dia, maka dia akan dengan terpaksa menahan Ivy di alam pribadi dia ini. Memang kejam, tapi jika itu bisa menyelamatkan banyak orang dan membuat adiknya terjauhkan dari sikap monster, maka Jovano harus tega.      

"Baiklah." Ivy tersenyum sembari tatap kakaknya.      

Jovano memandang adiknya secara intens, berharap sang adik tidak berkata seperti itu hanya untuk menyenangkan dia. "Ivy, kamu beneran serius kan janji kayak gitu ke Kak Jo?"      

Ivy masih mengulum senyumnya sebelum dia berujar, "Yah, aku akan mencoba mengabulkan permintaan Kak Jo semampu aku."      

Mata Jovano terpicing curiga, "Apakah itu artinya kau nanti bisa saja melakukan hal yang Kakak larang jika kau memang sedang ingin membunuh?"      

"Um ... Sepertinya tidak." Ivy menjawab, masih dengan senyum masih terpasang di wajahnya. "Ayo kita pulang, Kak. Di sini aku agak tidak nyaman. Udaranya ... jelek."      

Jovano bertanya-tanya, apakah dia akan menahan Ivy di sini atau memberi Ivy kesempatan untuk berubah?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.