Devil's Fruit (21+)

Memilih Cara Mati



Memilih Cara Mati

3Fruit 848: Memilih Cara Mati     
0

Jovano menggenggam tangan Ivy. Dia berpikir keras untuk mencari solusi terbaik tanpa melukai siapa pun. Ahh, sayang sekali Weilong sudah kembali ke Alam Cosmo. Jika tidak, dia bisa minta bantuan Weilong untuk menghipnotis mereka. Dengan begitu, tidak perlu ada adegan kekerasan atau bahkan bunuh-membunuh.      

Beberapa lelaki di belakang Jovano sudah bergerak mendekati dia dan Ivy. Dan yang di ujung lorong juga sudah mulai mendekat pula. Oke, jika orientasi mereka adalah uang saja, maka dia akan berikan semua yang ada di dompet dia. Uang adalah masalah sepele untuk Jovano. Bisa dicari lagi gantinya. Toh dia tidak akan pernah kekurangan uang.      

Jovano melihat sekitarnya. Lorong ini memang sepi dan sangat tepat digunakan orang-orang yang ingin berbuat jahat seperti gerombolan preman itu. Apalagi tidak ada cctv. Semakin sempurna bagi mereka melakukan apapun di sini.     

"Begini," ucap Jovano pada mereka. "Apakah kalian ingin uang?" tanya dia secara gamblang. Dia tidak ingin bertele-tele dengan mereka.      

"Uang? Tentu saja kami akan dengan senang hati menerima kebaikan hati kamu jika kau bermaksud ingin berdonasi untuk kami. He he he ..." Salah satu preman menjawab.      

Segera saja Jovano mengeluarkan dompetnya. "Baiklah, baiklah, aku bisa berikan uangku pada kalian, tapi setelah itu, jangan ganggu kami. Oke?" Ia sudah membuka dompetnya dan mengeluarkan isinya. Banyak lembaran uang kertas di tangan dia.      

"Kau pikir kau siapa sampai bisa seenaknya menyuruh-nyuruh kami, heh?!" Preman lainnya berteriak berang dan emosi karena ucapan Jovano sebelumnya. "Kau pikir kau ini presiden sehingga berhak menyuruh kami ini dan itu, heh?! Eh, tapi aku juga tidak akan begitu saja patuh pada presiden, sih! Hi hi hi!"      

Teman preman yang lain ikut terkekeh akan ucapan rekan mereka.      

"Gunso, jangan begitu. Kau akan menakut-nakuti dia." Preman sebelumnya berbicara. Sepertinya dia adalah pemimpin dari kelompok mereka.      

"Bos! Aku hanya ingin bocah sok kaya itu tau dia tidak bisa main enak saja pada kita! Kita ini punya martabat!" Orang yang dipanggil Gunso pun menjawab.      

Lalu, pemimpin preman itu pun menatap ke Jovano dan lebih berjalan mendekat. "Anak muda, serahkan uangmu. Dan alangkah lebih baik juga jika kau pun tidak hanya mendermakan uangmu, tapi juga mendermakan pacarmu."      

"Ya! Ya! Itu benar! Ha ha ha! Bos memang terbaik!" seru preman lainnya.      

"Jangan kuatir, bocah," sambung si Gunso. "Kami hanya akan meminjam pacarmu sebentar untuk menemani kami pergi ke karaoke, setelah itu kau bisa menjemputnya lagi."      

Jovano merasa ini sudah tidak benar. Mereka keterlaluan. Melunjak seenaknya ketika dia sudah menuruti kemauan mereka. Bolehkah dia membunuh mereka? Preman-preman itu sungguh menjijikkan! Entah itu tampang ataupun gaya dan motif mereka ... Menjijikkan!      

"Aku sudah bersedia memberikan semua uangku ini ke kalian." Sekarang Jovano memakai bahasa Jepang. Raut wajah mereka agak terkejut, tidak menyangka Jovano ternyata bisa nihongo (bahasa Jepang). "Tapi kalian justru semakin seenaknya."      

"Tutup mulut kamu, bocah! Serahkan uangmu dan pacarmu!" Si Gunso pun maju ke Jovano dan Ivy, hendak merenggut gadis cantik di sebelah Jovano.      

Namun ....     

Kreekk!!!      

Zleepp!     

"Aarrghhh!!!" Jeritan terkejut datang dari rekan Gunso ketika melihat apa yang diperbuat Ivy pada Gunso.      

Jovano menoleh ke adiknya. Ivy sedang mencengkeram leher patah Gunso dan menerobos dada Gunso dengan tangannya. Tangan telanjang!      

Bos preman itu segera merasakan kengerian melingkupi dirinya. Ia terbata-bata balik badan hendak lari.      

Ketika bos mereka berlari, anak buahnya juga segera lari.      

Sayangnya, Jovano tidak bisa membiarkan begitu saja ada saksi akan kekuatan Ivy. Lekas saja Jovano menggunakan tenaga telekinesis dia dan seolah menyedot para preman yang hendak kabur menjadi terkumpul di dekat dia. Menyatukan mereka di tengah lorong.      

"Ampun! Ampuni kami, Tuan! Nona! Ampuni kami! Kami tidak akan lagi mengganggu kalian! Ampuni kami!" Bos itu pun berteriak mengiba ke Jovano dan Ivy. Kini dia tau dia berhadapan dengan bukan manusia biasa. Seberapa menyesal mereka sekarang?     

Jovano bergerak cepat membuat array penghalang sehingga tidak akan ada orang lain yang akan melihat apa yang terjadi di lorong tersebut. Setelah array terbentuk, ia dengan santai berjalan ke gerombolan preman yang saling beringsut berdesakan menjadi satu saling takutnya pada Jovano.      

"Kalian sudah aku beri kesempatan dengan menyerahkan uangku pada kalian, tapi kalian sendiri yang ingin menciptakan bencana pada diri kalian. Bisa apa aku kalau sudah begini?" Jovano menatap penuh benci ke bos preman dan anak buahnya yang menangis ketakutan dan bersimpuh memohon pada Jovano dan Ivy.      

"Uhuhuuu ... Ampuni kami, Tuan Muda, Nona Muda. Ampuni kami." Bos preman tidak ragu-ragu untuk menangis. Anak buahnya juga ikut meratap sambil bergidik ngeri menatap mayat Gunso yang telah dilemparkan Ivy di dekat mereka.      

"Bukankah kalian berkata kalian ini penuh akan martabat? Kenapa sekarang seperti gadis cengeng?" tanya Ivy secara sarkastik.      

"Maafkan kami ini, Nona Besar. Maafkan kami! Maafk-"      

Zleepp!      

Bos preman tidak sempat meneruskan ucapannya karena kuku jari Ivy sudah menembus jantungnya. Para anak buah di dekat si bos tentu saja menjerit histeris dan berniat menjauh namun mereka seperti membentur dinding tak kasat mata meski sudah berusaha menjauh dari Jovano dan Ivy. Mereka kian panik. Apalagi menatap kuku jari Ivy yang bisa memanjang se-fantastis itu.      

Rupanya itu adalah kemampuan Ivy. Jovano baru mengetahui hal tersebut.      

Crass!!!      

Sekali tebas, salah satu kepala preman sudah menggelinding jatuh.      

"Huwaaaa!!! Tidak! Jangan!" Preman lainnya menjerit makin histeris dan hanya bisa berjongkok berkumpul di sudut.      

Ivy mendekati mereka. "Katakan padaku, kalian hendak menerima kematian dengan cara yang cepat atau lama dan menyakitkan?"      

"Tidak! Jangan, Nona! Jangan!"      

"Katakan padaku, kalian ingin diberi kematian yang seperti apa? Seperti bos kalian? Atau yang baru saja kepalanya jatuh? Kalau ingin yang instan, maka kalian bisa kutebas dengan cepat. Tidak akan sakit. Percayalah!" Wajah Ivy begitu dingin ketika mengatakan itu.      

"Tidak! Kami tidak ingin mati! Kami tidak ingin mati! Nona, ampuni kami! Kami akan bertobat dan tidak akan lagi mengganggu orang, tidak akan!" Mereka mulai memohon dengan janji masing-masing yang diuraikan dari mulut kotor mereka.      

"Aku tidak suka pertanyaan aku tidak dijawab." Suara Ivy begitu dingin saat mengucapkan itu.      

Creepp!      

Satu dada preman sudah ditembus kuku panjang Ivy. Kuku itu begitu panjang namun kokoh dan warna merahnya sangat serasi dengan darah yang muncul dari dada korbannya. Yang pasti, kuku itu bagaikan pisau tajam.     

"Pilih atau aku yang pilihkan!" bentak Ivy dengan mata melotot berwarna merah. Hal demikian membuat sisa preman semakin meraung takut karena mereka belum pernah menjumpai ada manusia yang matanya bisa bersinar kemerahan begitu.      

"Tebas leherku! Tebas leherku, Nona!" Salah satu preman memberanikan diri mengucapkan itu. Dia tau dirinya takkan mungkin bisa lolos dari maut ini, makanya dia hanya ingin mati secara mudah dan tidak dia rasakan.      

Craass!      

Kepala pria preman itu pun terpisah dari lehernya dan jatuh menggelinding ke lantai lorong.      

Satu demi satu preman lainnya pun mengucapkan hal sama seperti rekan mereka, yaitu berharap diberi kematian dengan cara ditebas cepat.      

Dalam hitungan detik, banyak kepala sudah berjatuhan dan darah menyeruak keluar membuat genangan kolam merah yang indah.      

Jovano tidak bisa berbuat banyak kecuali mengeluarkan api hitam dia untuk membakar habis semua mayat di sana tanpa sisa.      

Sedangkan Ivy menjilati jemari yang berlumuran darah mereka.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.