Bebaskan Penyihir Itu

[Pintu Masuk]



[Pintu Masuk]

2"Ini … bagaimana kamu bisa melakukan hal itu?" Guntur berdecak dengan penuh kekaguman kepada Tilly.     
4

Seluruh dinding aula dipenuhi dengan lusinan lubang. Setiap lubang berisi sepotong batu dan memancarkan cahaya berwarna putih. Bahkan di langit-langit ada lingkaran Batu Cahaya yang menakjubkan ini. Mereka bisa melihat seluruh isi aula dengan jelas di bawah cahaya berwarna putih ini.     

Ini adalah pertama kalinya Ashes melihat wajah Guntur seperti itu. Ashes merasa senang melihat kekaguman Guntur terhadap Tilly. "Apa kamu tidak tahu? Ketika seorang penyihir memasukkan kekuatannya ke Batu Ajaib itu, batu itu bisa merangsang kekuatan baru kepada penyihir itu."     

"Apakah ini yang dinamakan Batu ajaib itu?"     

Guntur dengan hati-hati mengambil sepotong batu merah itu. Ia memegang batu itu di tangannya, bahkan jika tidak ada cahaya di dalam aula ini, batu itu tetap berkilauan.     

"Aku tidak tahu." jawab Tilly sambil menggelengkan kepalanya. "Batu-batu ini mungkin telah berada di sini selama ratusan tahun, jika reruntuhan ini memiliki sejarah yang sangat lama. Semua batu ini tersembunyi di balik dinding, sehingga tidak ada orang yang bisa menemukannya. Hanya penyihir yang dapat mengaktifkan batu ajaib ini."     

"Jadi bukan kamu yang membuat batu itu bersinar?"     

"Bukan aku, batu ini bisa bersinar sendiri." sahut Tilly sambil mengambil sepotong batu ajaib, lalu ia menutup matanya. Secercah cahaya putih memantulkan sinarnya yang indah. "Jika batu ini adalah sebuah alat perantara yang membutuhkan kekuatan sihir agar bisa menyala, tidak mungkin kita bisa mengambil batunya dengan mudah, sama seperti cahaya lilin tidak dapat bersinar jika dilepaskan dari batang lilinnya. Lubang-lubang di dinding ini hanyalah wadah untuk menancapkan batu ajaib, dindingnya tidak istimewa."     

"Jika dugaanmu benar, dan batu itu dapat bercahaya sendiri, dan batunya terus bercahaya selama ratusan tahun, maka batu-batu ini sangat tidak ternilai harganya," kata Guntur, "Kristal salju yang diproduksi di Kerajaan Everwinter saja, tidak bersinar seterang ini. Sepotong batu merah sebesar kepalan tangan saja bisa dijual seharga ratusan keping emas."     

Ketika para pelaut mendengar hal itu, mereka semua menatap batu-batu itu. Ekspresi di mata mereka tiba-tiba berubah.     

"Seperti yang sudah kita sepakati sebelumnya, kalian bisa mengambil setengah dari batu ajaib itu," kata Tilly perlahan. Tilly tidak mementingkan hal itu saat ini. Sekarang karena aulanya terang benderang, Tilly bisa menjelajahi aula dengan lebih cermat. Ashes tidak ingin Tilly menarik rumput laut lagi dengan menggunakan tangannya, jadi ia mengambil pedangnya, dan memangkas semua rumput lautnya dari dinding. Mereka langsung menemukan Batu ajaib lain yang tersembunyi dari dalam dinding.     

Tilly menggunakan kekuatan sihirnya ke dalam batu itu dengan cara yang sama. Suara keras karena gesekan logam terdengar, semua orang terkejut melihat sebongkah batu besar muncul di atas kepala Tilly. Kedua sisi batu itu terdapat kabel tembaga, dan tampak seperti tangga. Bagian bawah batu itu perlahan jatuh ke tanah, dan sisi lain batu itu mengarah ke bagian atas langit-langit. Ketika Ashes mendongak, ia melihat ada pintu logam di ujung terowongan itu.     

"Tilly," melihat Tilly naik sendiri ke dalam terowongan itu tanpa ragu, Ashes langsung berkata, "Biar aku periksa terlebih dahulu."     

"Silahkan, lagi pula pulau ini bukan pulau harta karun." sahut Tilly sambil naik ke puncak tangga batu. Pintu logam itu langsung terbuka dengan mudah.     

Melihat Tilly masuk melalui pintu dan menghilang ke langit-langit, Ashes tidak punya pilihan lain selain mengikuti Tilly. Ashes masuk sambil menggenggam pedang di tangannya.     

Ashes menatap langit-langit di atas kepalanya. Ashes melihat ada ruangan yang jauh lebih kecil dari aula, dan dinding di ruangan itu penuh dengan Batu Cahaya berwarna merah sama seperti dinding di aula bawah. Yang membuat Ashes terkejut, ruangan ini tidak ikut terendam air laut.     

Ada sebuah meja kayu, sebuah kursi, sebuah rak buku, dan sebuah lemari. Semua perabotan di ruangan ini masih utuh, tertutup debu tebal, dan orang bahkan bisa melihat jaring laba-laba yang sudah rusak. Buku-buku diletakkan dengan rapi di dalam rak buku. Semua perabotan di ruangan ini tertutup debu tebal. Sebuah buku tua nampak terbuka di atas meja, ada cangkir, ketel, dan tempat menaruh pena. Pena bulunya hanya tinggal kerangkanya saja, dan tintanya sudah lama mengering. Dibandingkan dengan aula di bawah yang penuh dengan ganggang dan kerang laut, ruangan ini tampak seperti berasal dari dunia lain.     

Guntur adalah orang ketiga yang ikut naik ke ruangan di atas, lalu ia melihat sekelilingnya. "Ruangan ini adalah …."     

"Ruangan yang sudah ditinggalkan dan terbengkalai," kata Tilly. Tilly membuka sebuah buku di atas meja, membersihkan debunya, dan membaca buku itu halaman demi halaman. "Seseorang pernah tinggal di sini untuk waktu yang lama."     

"Apa yang ditulis dalam buku itu?"     

"Aku belum tahu." Tilly menjawab sambil menggelengkan kepalanya dan menunjukkan kepada mereka isi buku itu. "Aku belum pernah melihat bahasa ini sebelumnya."     

"Buku di rak sepertinya isinya sama." Ashes membersihkan debu di buku itu dengan tangannya. Tulisan di buku itu mengandung barisan kalimat yang berantakan dan aneh, dan tidak ada yang bisa memahami apa yang ditulis dalam buku itu.     

"Kita bisa mengambil buku ini dan memeriksanya," kata Tilly sambil tertawa, "Dan menurut kesepakatan kita, buku-buku dan Batu-batu ajaib itu adalah milikku."     

"Tentu," kata Guntur sambil mengelus janggutnya, "Tetapi aku harap jika kamu menemukan suatu informasi tentang tempat ini, kamu bisa berbagi informasi itu denganku."     

"Tidak masalah."     

…     

Mereka bertiga memeriksa lantai dua dengan hati-hati dan menarik kesimpulan tentang tempat itu.     

Mereka tidak menemukan Batu ajaib yang baru, tetapi di sisi lain ruangan mereka menemukan sesuatu yang aneh. Jika dilihat sekilas, benda itu tampak seperti sebuah pipa logam yang besar — satu sisi tertanam ke dinding batu, dan sisi lainnya mengecil sampai seukuran pergelangan tangan. Di ujung pipa logam itu, ada sebuah lensa kaca.     

"Benda apa ini?" Ashes mengetuk pipa itu, dan serangkaian bunyi bergema keluar dari dalam pipa. Rupanya, bagian tengah pipa itu kosong.     

"Sepertinya ini adalah sebuah teleskop untuk berlayar, mungkin orang-orang yang tinggal di sini menggunakan teleskop ini untuk mengamati dunia luar." Guntur mendekatkan teleskop itu ke matanya untuk melihat lebih jelas. "Kita tidak bisa melihat apa-apa melalui teleskop itu. Mungkin teleskopnya sudah rusak."     

"Aku tidak yakin." Tilly menunjuk ke dinding di belakang pipa logam itu. "Lihat ke sana."     

Ashes mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Tilly, dan ia melihat sebuah papan tembaga dengan sebuah pegangan di dinding. Ada lubang kecil di bawah gagangnya, kelihatannya seperti lubang kunci. Tilly menghampiri papan tembaga itu dan mencoba membuka pegangannya. Papan itu tidak bergeming. "Terkunci."     

"Biar aku coba." Ashes memegang pegangan itu dan menariknya dengan keras. Seluruh papan tembaga itu tiba-tiba terlepas dari dinding.     

"Ha, kamu benar." kata Guntur sambil bertepuk tangan. "Di dalam itu juga berisi batu ajaib."     

Sebuah Batu Ajaib besar tersangkut di lekukan di belakang papan tembaga. Batu ini berbeda dari dua batu yang sebelumnya, dan terlihat jauh lebih besar dan berwarna ungu muda.     

"Apakah kamu ingin mengaktifkan batu itu?" tanya Ashes.     

"Benar." jawab Tilly sambil mengangguk. Tilly memegang batu itu dengan kedua tangannya, tetapi tidak terjadi apa-apa.     

"Ada apa?"     

"Kekuatan batu ini terlalu besar," kata Tilly, keringat muncul di keningnya, "Aku bisa merasakan batu ini menyerap kekuatan sihirku terus-menerus. Sepertinya diperlukan banyak kekuatan sihir yang besar untuk mengaktifkan batu ini."     

"Bagaimana kalau kamu lupakan saja batu ini," kata Ashes sambil mengerutkan kening. Ashes tahu bahwa jika seorang penyihir menghabiskan kekuatannya sampai habis, penyihir itu akan langsung pingsan dan koma. Menghabiskan semua kekuatan sihir Tilly di tempat berbahaya seperti ini jelas bukan ide yang bagus.     

"Tidak, ini sudah hampir selesai, aku bisa merasakannya." Kata-kata Tilly nyaris tidak terdengar ketika suara gemuruh datang dari dinding dan seluruh ruangan mulai bergetar.     

"Apakah ini … gempa bumi?" Guntur berpegangan pada pipa logam itu agar ia tidak jatuh. Ashes segera memegang Tilly. Debu-debu berjatuhan dari atas, dan semua orang terbatuk-batuk.     

Getaran itu berlangsung selama hampir lima belas menit, dan kemudian perlahan-lahan keadaan menjadi tenang kembali.     

Molly mencondongkan tubuh keluar dari tangga. "Apa yang baru saja terjadi?"     

"Pengaktifan batu baru," kata Ashes, "Apakah semua orang baik-baik saja di lantai bawah?"     

"Semua orang ketakutan, dan beberapa bagian atap runtuh, tetapi untungnya, aku menggunakan kekuatan sihir untuk melindungi mereka." Molly berjalan mendekati Tilly dan bertanya, "Lady Tilly, apa yang sedang Anda lihat?"     

Tilly tidak menjawab pertanyaan Molly, matanya terfokus pada ujung pipa logam. Setelah terdiam untuk waktu yang lama, Tilly menghela nafas. "Benar-benar luar biasa …."     

Karena penasaran dengan apa yang dilihat oleh Tilly, Ashes maju untuk melihat melalui teleskop itu. Apa yang dilihat Ashes membuat dirinya sangat terkejut sehingga ia tidak mampu berkata-kata.     

Di ujung lain 'teleskop' itu ada hamparan wilayah yang sangat luas, yang ujungnya tampak seperti tebing, begitu dalam sehingga kita tidak bisa melihat ujungnya. Sebuah batu raksasa berdiri di tengah-tengah tebing, dan pintunya masuknya menjorok ke dalam dan gelap seperti mulut raksasa yang bisa menelan siapa saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.