Bebaskan Penyihir Itu

Murid dan Guru



Murid dan Guru

2…     4

Nana menguap dengan keras ketika ia turun dari tempat tidur.     

Nana melirik nuansa putih yang nampak di luar jendela. Tentu saja, Nana tidak bisa melihat apa pun selain salju.     

Dengan enggan, Nana turun dari tempat tidurnya yang hangat dan mengenakan mantel musim dinginnya yang tebal. Ketika keluar dari kamarnya, Nana melihat Bibi Alda sedang merapikan ruang tamu.     

"Selamat pagi," gumam Nana.     

"Ah, putri kecil, nona sudah bangun." Alda tersenyum pada Nana. "Nona mau sarapan? Sarapannya sudah siap."     

"Ya." Nana duduk di samping meja makan dan memandang ke sekeliling ruangan, tetapi ia tidak melihat ayahnya. "Di mana Ayah?"     

"Tuan Pine sudah keluar rumah pagi-pagi sekali," jawab Alda dari dapur. "Tuan juga membawa senapan perak miliknya."     

"Tentu saja." Nana mengerucutkan bibirnya. "Ayahku mungkin pergi ke tembok kota untuk berlatih menembak lagi — sejak ia berhasil melawan binatang iblis dengan senjata apinya, ia langsung tergila-gila dengan senjata bersuara keras itu. Ayah tidak hanya menyeka laras senapannya setiap hari, tetapi ia juga pergi ke tembok kota untuk berlatih kapan pun ia punya waktu luang. Selain itu, ayah juga berhasil mengajukan permohonan senjata api yang dibuat khusus oleh Yang Mulia dan menggunakan alasan kemampuan menyembuhkan yang aku miliki sebagai imbalannya."     

"Ini semua salah Yang Mulia karena ia mengatakan bahwa senapan panjang adalah perlengkapan standar yang harus dimiliki para pemburu," pikir Nana. "Jika ibu masih hidup, ayah tidak akan pergi sepanjang hari seperti ini."     

"Sarapannya sudah siap." Alda meletakkan dua piring mengepul di atas meja di hadapan Nana. "Telur goreng dan roti gandum putih. Makanlah selagi masih hangat."     

"Terima kasih." jawab Nana.     

Sarapan biasanya disiapkan sebelum Ayah meninggalkan rumah. Hanya Bibi Alda yang secara khusus meletakkan piring sarapan Nana di air panas agar tetap hangat. "Jika Ayah yang merawatku, aku akan makan telur yang dingin dan sudah keras." pikir Nana.     

Nana menghela napas panjang.     

Andai saja Bibi Alda bisa menikah dengan Ayah.     

Tetapi Nana mengetahui bahwa keinginannya itu bisa dibilang mustahil. Alda adalah pelayan di keluarga Nana sementara ayahnya adalah seorang bangsawan di Kota Perbatasan — sejauh yang Nana ketahui, sulit bagi orang biasa dan seorang bangsawan untuk menikah.     

Nana melahap sarapannya yang lezat, menyeka mulutnya, dan berteriak. "Aku akan pergi ke pusat medis!"     

"Baiklah." Alda meletakkan sapu yang dipegangnya dan mengantar Nana ke pintu. Ketika Alda membungkuk dan mengikatkan syal di leher Nana, ia berkata, "Hati-hati di jalan, Nona Pine."     

"Baik, Bibi!" jawab Nana.     

Serpihan salju putih menyambut Nana ketika ia keluar dari rumah.     

Ini adalah rutinitas harian yang biasa Nana lakukan: Pada pagi hari, Nana akan pergi ke pusat medis. Nana akan merawat pasien jika ada yang sakit, atau ia akan melatih kemampuannya pada hewan-hewan. Pada siang hari, Nana akan pergi ke kastil untuk makan siang bersama Pangeran Roland, sementara dari siang hingga malam hari, ia akan tetap berada di pusat medis, setelah itu ia akan pulang ke rumah — Nana adalah satu-satunya penyihir yang tidak tinggal di istana.     

Meskipun waktu berjalan lambat dan terasa membosankan di pusat medis, Nana bertahan karena ia ingin pasien menerima perawatan secepat mungkin. Senyum dan kehangatan warga kota juga membuat Nana merasa bahagia dan bersemangat.     

"Nona Nana, selamat pagi!"     

"Nona malaikat, kamu mau pergi ke pusat medis lagi?"     

"Cuaca hari ini sedang tidak baik. Jaga kesehatanmu, nona Nana."     

"Nona Pine, apa kamu sudah sarapan? Makanlah semangkuk bubur gandum panas yang baru saja aku siapkan."     

Salam-sapa seperti ini terus berdatangan tanpa henti setiap kali Nana berjalan di muka umum. Suasana saat ini sangat berbanding terbalik dengan suasana tahun lalu. Saudari-saudari penyihir lain mengklaim bahwa saat ini Nana adalah penyihir yang paling populer di Kota Perbatasan, bahkan ia lebih populer daripada Anna. Nana tidak peduli dengan popularitas itu, meskipun ia senang dengan suasana seperti sekarang. Setiap orang yang telah Nana rawat sebelumnya akan menyapanya dengan penuh kasih sayang, dan hal ini membuat Nana merasa sangat puas.     

"Anna benar," pikir Nana. "Satu-satunya cara untuk mengubah prasangka orang adalah dengan menghadapi mereka dengan lapang dada."     

Ketika Nana tiba di pusat medis, prajurit Tentara Pertama yang menjaga gerbang membungkuk dan menyambutnya. "Halo, Nona Nana."     

"Selamat pagi, apakah ada pasien hari ini?"     

"Tidak ada saat ini," jawab prajurit itu. "Tetapi teman-temanmu sudah datang."     

"Teman-teman?" Nana terkejut. "Mungkinkah yang datang itu Anna?" Ketika Nana memikirkan Anna, ia berlari ke lantai dua dan membuka pintu dengan semangat, tetapi ia melihat si Bulan Misteri, Si Burung Kolibri dan Lily sedang berbaring di atas meja. Saat melihat kedatangan Nana, mereka bertiga segera bangkit dan mengelilingi dirinya.     

"Kalian bertiga …."     

"Haha, apakah kamu terkejut dengan kedatangan kami? Kami datang jauh-jauh ke sini hanya untuk bertemu denganmu!" seru si Bulan Misteri sambil mengangkat kedua tangannya.     

"Si Bulan Misteri menyarankan daripada kami bermalas-malasan di istana, lebih baik kita berjalan-jalan keluar," kata Si Burung Kolibri menambahkan.     

"Kalian berdua mungkin bebas, tetapi aku tidak. Aku masih punya banyak sampel serangga yang harus aku amati." ratap Lily yang berdiri di belakang. "Nana juga pasti sangat sibuk. Kalian pikir Nana bisa menganggur seperti kalian?"     

"Benarkah itu? Kemarin, aku mengintip ke kamar dan melihatmu sedang tidur di depan mikroskop. Kamu pasti muak dengan pekerjaanmu." jawab si Bulan Misteri sambil mengangkat bahu.     

"Tidak seperti itu kenyataannya!" balas Lily.     

Nana sedikit kecewa karena bukan Anna yang datang, tetapi ia dengan cepat merasa terhibur. Saat ini, Anna adalah bawahan tersibuk Yang Mulia, dan tentu saja, Anna tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersama Nana seperti di masa lalu.     

"Tidak, sebenarnya aku juga sedang menganggur sekarang," jawab Nana sambil tertawa. "Terima kasih atas kedatangan kalian bertiga."     

"Ehem … karena kamu bilang begitu, aku akan tetap di sini untuk menemanimu." kata Lily. "Tidak masalah jika aku baru mengamati sampel itu besok."     

"Apa yang akan kita mainkan sekarang?" tanya Si Burung Kolibri.     

"Apa lagi?" Bulan Misteri mengeluarkan segepok kartu poker. "Tentu saja kita akan main poker!"     

"Aye, kartu poker memang menarik, tetapi poker adalah permainan untuk tiga orang pemain."     

"Tidak, kita tidak akan memainkan poker dengan cara seperti itu." sahut Bulan Misteri sambil menggelengkan kepalanya. "Kita akan bermain sebuah permainan baru yang cocok untuk empat orang pemain, di mana kita akan berlomba untuk melihat siapa yang dapat menunjukkan kartunya paling cepat. Aku baru tahu permainan ini dari Andrea kemarin!"     

"Kamu mengetahui permainan ini dari mereka?" tanya Lily sambil memegang keningnya sendiri. "Kamu saja tidak bisa belajar dari penyihir Kota Perbatasan, namun kamu malah memilih untuk belajar dari penyihir Pulau Tidur … seandainya saja kamu menggunakan semangatmu untuk belajar ilmu pengetahuan baru dari Yang Mulia, kemajuanmu pasti tidak akan sekecil ini."     

"Permainan ini juga diajarkan oleh Yang Mulia." balas Bulan Misteri. "Mengapa permainan ini tidak dianggap sebagai bagian dari ilmu pengetahuan Yang Mulia?"     

"Selain kamu, mungkin tidak ada seorang pun di Persatuan Penyihir yang berpikir seperti itu." jawab Lily sambil menatap si Bulan Misteri sejenak.     

"Aku juga ingin belajar permainan yang baru itu …" kata Si Burung Kolibri dengan pelan.     

Nana menyaksikan semua perdebatan itu, dan ia tertawa terbahak-bahak. Nana merasa dirinya seperti kembali ke hari-hari yang menyenangkan ketika ia masih bersekolah di tempat Guru Karl.     

…     

Ditemani ketiga penyihir itu, pagi hari yang biasanya membosankan kini berlalu dengan cepat. Mereka semua kemudian pergi ke istana untuk makan siang bersama, setelah itu Nana kembali lagi ke pusat medis sendiri.     

Ketika Nana melangkah ke aula, ia melihat seseorang yang tidak ia sangka.     

Itu adalah Guru Karl van Bate!     

"Tuan Karl!" Nana berkata dengan terkejut. "Apa yang membuatmu datang kemari?"     

"Aku datang untuk bertemu denganmu." Karl tersenyum dan menatap Nana lalu berkata dengan gembira, "Kamu … sudah dewasa sekarang."     

"Benarkah?" Nana menundukkan kepalanya dengan malu-malu. "Aku masih jauh jika dibandingkan dengan Anna."     

"Semua orang berbeda. Kamu juga memiliki kelebihan sendiri." jawab Karl sambil tertawa. "Melihat kamu dan Anna tumbuh dewasa, serta mengamati perubahan di kota ini, sepertinya aku tidak melihat kepedihan itu lagi."     

"Kepedihan apa?" tanya Nana bingung.     

"Tidak apa-apa … aku hanya bicara omong kosong." kata Karl sambil menggelengkan kepalanya. "Dulu aku yakin para dewa telah mengabaikan dunia ini, tetapi sekarang, aku merasa dewa masih terus menjaga kita."     

"Bukan dewa," Nana mengoreksi ucapan Karl. "Yang Mulia mengatakan bahwa ini adalah hasil dari kerja keras manusia. Bukankah komplek perumahan itu dibangun dari hasil kerja keras anda?"     

"Tetapi jika tidak ada dewa, tidak ada satu pun yang bisa terjadi. Pada saat itu, ketika aku mengira Anna sudah mati, dan kamu entah bagaimana tersadar sebagai penyihir, aku benar-benar bingung. Mungkin dewa sudah mendengar doaku dan menjawab seruanku." kata Karl dengan lembut. "Dan dewa telah memberikan Yang Mulia Roland kepada kita."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.