Bebaskan Penyihir Itu

Keyakinan



Keyakinan

0Setelah asap pistol yang disebabkan oleh pertempuran itu sudah lenyap, hutan itu kembali sunyi.     0

Rambut kepang panjang Saint telah tergerai, dan rambutnya terurai seperti kelopak-kelopak bunga putih di atas tubuhnya.     

Darah Saint mengalir ke belakang punggungnya dan membentuk genangan berwarna merah gelap, darahnya perlahan-lahan meresap ke tanah dan membasahi tanah yang dingin dan keras. Setelah itu, udara di sekitar hutan mulai dipenuhi bau amis darah.     

Nightingale berjongkok dan membuka kain penutup mata di wajah Saint. Nightingale melihat bahwa Saint ternyata masih muda, mungkin usia Saint sama seperti dirinya. Namun, bekas luka di mata Saint menghancurkan kecantikannya — kedua matanya tampak seperti telah berulang kali dibakar dengan besi panas, dan kulit matanya berwarna merah dan kisut, sehingga gadis ini kehilangan bentuk asli matanya.     

Luka ini sudah pasti disebabkan oleh manusia. Nightingale dengan lembut menyentuh bekas luka yang keriput itu. Apakah Saint mendapatkan luka-luka ini sebelum ia menjadi penyihir atau setelah menjadi pengikut gereja, tidak ada yang akan mengetahui kebenarannya. Namun, itu tidak penting lagi karena mulai sekarang, Saint tidak bisa menyakiti penyihir lain dan ia sendiri tidak akan menderita siksaan lagi.     

Setelah menggeledah tubuh Saint, Nightingale menemukan sebuah surat, segel gereja dan sebuah lambang gereja di saku jubahnya. Lambang itu bergambar sebuah lingkaran yang terbelah oleh sebuah salib dan ada gambar kepalan tangan di bagian tengahnya.     

Saint tidak membawa apa pun — tidak ada emas atau perhiasan di tubuhnya maupun di dalam jubahnya.     

"Mungkin gadis ini tidak pernah menikmati apa pun dalam hidupnya," pikir Nightingale.     

"Hei, lihat siapa yang aku tangkap ini." Suara Kilat terdengar dari udara. Nightingale mendongak dan melihat gadis kecil itu sedang membawa seorang pria yang sedang menggeliat-geliat, lalu Kilat melemparkan pria itu ke tanah.     

Pria itu mengerang kesakitan dan berguling-guling di tanah, ia berusaha bangkit berdiri, tetapi ia diikat seperti mangsa buruan, sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah menggeliat-geliat tanpa daya.     

Dilihat dari pakaian pria itu, kemungkinan besar pria ini adalah seorang Pendeta yang duduk di kereta yang satunya.     

"Di mana Maggie?" tanya Nightingale.     

"Maggie sedang memandu Ashes untuk mengejar Pasukan Penghakiman yang melarikan diri." kata Kilat sambil berjalan ke arah mayat Saint. "Ini penyihir yang dilatih oleh gereja itu?"     

"Benar," kata Nightingale dengan pelan. "Wanita itu tidak akan pernah memburu kita lagi."     

"Dari penampilannya, sulit dipercaya bahwa wanita ini menganggap kita sebagai musuh yang harus dibunuh …" kata Kilat sambil menghela napas.     

"Kalau bukan karena gereja, semua ini tidak akan terjadi." Nightingale berbalik dan menatap pria yang terikat itu. Ketika pria itu melihat Saint yang sudah tewas dalam genangan darah, matanya langsung terbelalak, ia mencoba mengatakan sesuatu tetapi tidak bisa karena ada kain yang menyumpal mulutnya.     

Nightingale mengambil kain yang menyumpal mulut pria itu. "Apakah ada hal yang ingin kamu katakan?"     

"Ehem … kalian … kalian telah membunuh Penyihir Suci milik Uskup Agung Tayfun, dasar iblis! Cepat atau lambat kalian akan digantung di gerbang kota dan mayat kalian akan menjadi santapan burung-burung gagak!"     

"Bahkan jika kami tidak membunuh penyihir itu, menjadi budak gereja juga sama buruknya," kata Nightingale, "Jika dibandingkan dengan penyihir itu, lebih baik kamu mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri terlebih dahulu."     

"Bahkan jika aku mati sekarang, aku memiliki keselamatan dari Tuhan, dan kalian akan tenggelam ke dalam lautan api neraka dan kalian akan disiksa selamanya!" teriak pria itu.     

"Itulah sebabnya aku harus menyumpal mulutnya," kata Kilat.     

Nightingale menjejalkan kain itu kembali ke mulut pria itu. "Biar Yang Mulia yang berurusan dengan pria ini. Yang Mulia mengatakan Si Kapak Besi sangat ahli untuk menginterogasi orang-orang seperti ini."     

…     

Pada saat Maggie kembali bersama kedua penyihir dari Pulau Tidur, hari sudah siang. Ashes melompat turun dari punggung burung raksasa itu dan mendarat dengan mantap di sebelah Nightingale. "Kamu tidak terluka, kan?" tanya Ashes.     

"Semuanya berjalan dengan baik," kata Nightingale. "Bagaimana dengan kalian?"     

"Jelas, tidak ada seorang pun yang bisa lolos dari kami." kata Ashes sambil tertawa.     

"Apakah penyihir itu sudah mati?" Andrea mendarat di tanah dan memandang ke arah mayat Saint. "Kupikir kamu akan membiarkan penyihir itu tetap hidup."     

"Musuh kita adalah seorang penyihir juga, jika kita ragu-ragu, itu akan sangat berbahaya bagi kita," kata Ashes. "Jika aku jadi Nightingale, aku juga tidak akan membiarkan penyihir itu tetap hidup."     

"Ya ampun, apa kamu tidak punya belas kasihan untuk kaummu sendiri?" balas Andrea.     

"Penyihir itu bukan saudari kita, ia hanya alat yang dikendalikan oleh gereja," kata Ashes dengan santai. "Selain itu, terkadang sesama penyihir malah bisa lebih kejam daripada orang lain. Aku belum pernah melihat ada binatang iblis atau iblis yang memenjara dan menyiksa orang selama bertahun-tahun."     

Setelah mengatakan itu, Ashes melepas sarung tangannya yang berlumuran darah dan mengulurkan tangannya kepada Nightingale. "Tindakan dan pertarunganmu sangat luar biasa, dan kamu sudah melakukan hal yang benar dalam menghadapi situasi ini."     

"…" Nightingale menatap Ashes sejenak sebelum akhirnya ia menyambut uluran tangan Ashes. "Terima kasih …."     

"Aku tidak menyangka orang seperti Ashes bisa menghiburku seperti ini," pikir Nightingale. "Ashes mungkin tidak ingin aku merasa bersalah karena telah membunuh sesama penyihir."     

"Aku rasa kemenangan kita ini pantas untuk dirayakan," kata Kilat.     

Maggie menyetujui ucapan Kilat dan langsung mengeluarkan suara, "Coo!"     

Andrea memutar kedua bola matanya, lalu ia juga mengulurkan tangannya, dan menaruh tangannya di atas tangan Ashes dan tangan Nightingale sambil berkata. "Aku harus mengklarifikasi bahwa jika kamu yang mengulurkan tangan, aku tidak akan menyentuhnya, jadi aku hanya melakukan ini demi Nightingale."     

"Baiklah, aku mengerti," kata Ashes sambil mengangkat alisnya.     

Kemudian, kelima penyihir itu mengangkat kedua tangan mereka ke langit dan bersorak, tangan-tangan mereka tampak seperti menara yang tidak tergoyahkan oleh hembusan angin dingin.     

…     

Selanjutnya, mereka berlima masih perlu mengumpulkan informasi yang dibawa oleh utusan delegasi musuh dan menyembunyikan jejak-jejak pertempuran mereka. Setelah membereskan semua urusan ini di hutan selama dua hari, mereka tiba kembali di Kota Perbatasan tiga hari kemudian.     

Setelah mendarat di halaman belakang istana, Nightingale segera dikerumuni oleh saudari-saudarinya.     

"Aku dengar kamu terluka. Kamu terluka di bagian mana?" tanya Nana dengan khawatir.     

"Nana sudah lama menunggumu. Kenapa kalian baru kembali begitu lama?" tanya Lily dengan kesal.     

"Apakah lukanya … masih sakit?" tanya Lucia.     

"Kumpulan ramuan ini dibuat khusus olehku. Ramuan herbal ini tidak hanya ampuh untuk menghentikan pendarahan, tetapi juga baik untuk meredakan bengkak, jadi efek ramuan ini cukup hebat," kata Daun sambil tersenyum.     

"Bagaimana kamu bisa begitu ceroboh dengan pergi ke gereja itu sendirian! Kamu mungkin tidak akan seberuntung itu lain kali!" kata Wendy.     

"Tidak apa-apa selama Nightingale bisa kembali dengan selamat." sahut Gulir.     

Melihat wajah-wajah familiar yang peduli dengannya membuat hati Nightingale terasa hangat, dan ia tidak habis pikir bagaimana kehidupan para penyihir Gereja di sana, tetapi ia tahu bagaimana rasanya bergabung di Persatuan Penyihir. Tidak ada keraguan lagi bahwa Persatuan Penyihir ini layak untuk diperjuangkan dengan segala cara.     

Kemudian, Nightingale melihat Yang Mulia Roland berdiri di sana.     

Kilat melompat ke lengan Yang Mulia dan menempel seperti seekor cicak.     

Maggie juga terbang ke bahu Roland, dan mengelus-elus pipi Roland.     

Meskipun Nightingale ingin melakukan hal itu juga, ia tahu bahwa dirinya bukan anak kecil, jadi Nightingale menahan hasratnya untuk memeluk Roland, ia berjalan menghampiri sang pangeran, dan berkata sambil tersenyum, "Aku sudah kembali."     

"Hehehe, aku sudah lama menunggumu." jawab sang pangeran sambil tersenyum, itu senyum yang dikenal Nightingale. "Mandilah dengan air hangat dan beristirahatlah. Aku sudah menaruh beberapa kantung berisi ikan panggang madu di laci kantor."     

"Baiklah, kalau begitu aku akan membersihkan diri dan beristirahat." jawab Nightingale.     

Nightingale tersenyum.     

Nightingale merasa yakin bahwa dirinya telah melakukan tindakan yang tepat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.