Bebaskan Penyihir Itu

Pulang



Pulang

2Lautan tampak seperti bumi yang berwarna biru, hanya saja lebih rata.     
1

Jika Maggie ada di sini, ia pasti akan terus berkicau untuk memberitahu Ashes seberapa luas pulau itu. Tetapi sekarang, yang bisa Ashes dengar hanyalah suara ombak laut yang menghantam sisi kapal. Walaupun terdengar agak monoton, bagi para awak kapal, suara deburan ombak sebenarnya adalah keberuntungan, karena itu berarti hari ini adalah hari yang baik untuk berlayar.     

Oh, sekarang ada suara lain lagi, pikir Ashes. Terdengar langkah kaki seseorang yang melangkah di papan kayu jati tua, langkahnya mengeluarkan suara yang berderit — seseorang sedang berjalan mendekati Ashes.     

"Aku tidak menyangka kamu benar-benar akan menetap di Pulau Tidur." Seorang pria tua berambut putih melangkah ke samping Ashes, dan ia bersandar di pinggir kapal. "Tempat itu tampak luas tetapi begitu air pasang naik, sebagian besar daratan akan terendam oleh air laut, jadi pulau itu tidak cocok untuk bermukim. Mengapa kamu tidak menetap di Teluk Bulan Sabit? Teluk ini adalah pulau terbesar kedua di antara Fjords dan masih ada banyak pulau lain yang tidak berpenghuni di sana."     

Jack bermata satu, Kapten Kapal Si Cantik, seperti namanya, Jack memakai penutup mata di wajahnya untuk menutupi mata kirinya. Jack juga salah satu dari segelintir orang yang bersedia mengangkut barang untuk para penyihir — meskipun orang-orang di Fjords tidak membenci penyihir seperti para penduduk di daratan, mereka juga tidak tertarik berurusan dengan orang luar.     

"Tidak semua orang mau berurusan dengan penyihir seperti kamu." Ashes tersenyum. "Laut memang akan menenggelamkan Pulau Tidur dan itulah alasan mengapa meskipun wilayahnya merupakan yang terbesar ketiga di antara Kepulauan Fjords, pulau itu masih merupakan pulau yang terpencil."     

"Menjadi wilayah terbesar ketiga tidak berarti pulau itu akan dihuni oleh banyak orang." sahut Kapten Jack sambil mengangkat bahu. "Jika tidak memungkinkan untuk tinggal di Pulau Tidur, luasnya pulau itu tidak akan ada gunanya. Contohnya Pulau Api."     

"Para penyihir bisa mengubah alam," kata Ashes dengan sungguh-sungguh, "Lagi pula, pulau ini akan menjadi rumah kami. Selama kami bisa terbebas dari penindasan gereja, kami dapat menciptakan dunia yang sama sekali berbeda, sebuah … dunia yang baru." Ashes berhenti sejenak. "Kapan terakhir kali kamu pergi ke Pulau Tidur?"     

Kapten Jack melepas topinya dan menggaruk kepalanya. "Sudah hampir satu bulan lalu dan terakhir kali aku mengirim sekelompok penyihir dan satu kabin penuh dengan beras mutiara. Sejujurnya, dari cara gadis-gadis itu bermain-main di kapal, mereka membuat para awak kapalku meneteskan air liur. Sangat sulit bagi orang-orang muda untuk berlayar di laut, dan para awak kapal seperti sebuah gunung berapi yang dapat meletus kapan saja, tetapi untungnya, aku dapat mengendalikan mereka. Kalau tidak, kapalku yang berharga ini akan terancam."     

Ashes mengabaikan kalimat terakhir yang diucapkan Kapten Jack. "Satu bulan sudah cukup bagi Langit dan Bumi untuk berubah, kapten. Aku bertaruh ketika kamu melihat Pulau Tidur kali ini, pulaunya akan jauh berbeda dari yang terakhir kali kamu lihat."     

"Benarkah?" Jack bersiul. "Kalau begitu aku ingin melihat … tunggu, apa itu?" Jack mencondongkan tubuh keluar kapal, sambil menatap ke depan. "Monyet! Naik ke tiang! Ada sesuatu di depan kita!"     

Awak kapal yang bernama Monyet dengan cepat naik ke puncak tiang kapal, dan mengamati lewat teleskop. "Kapten, sepertinya ada pulau!"     

"Pulau? Omong kosong!" Kapten Jack mengeluarkan kompasnya. "Seharusnya tidak ada pulau lain di dekat kita kecuali Pulau Tidur."     

"Tetapi itu benar-benar sebuah pulau, kapten, aku bersumpah!"     

"Jangan bersumpah di depanku. Biar aku lihat," kata Jack sambil melepaskan topinya.     

"Tidak, tidak, Kapten, lebih baik jika kamu tidak datang ke sini, anginnya terlalu kencang di atas." sahut Si Monyet sambil terus mengamati. "Demi Tiga Dewa!" Si Monyet berseru, "Itu Pulau Tidur! Pulau itu jadi lebih tinggi!"     

…     

Saat Kapal Si Cantik mendekati dermaga Pulau Tidur, semua orang di kapal hampir tidak bisa mempercayai apa yang mereka lihat.     

Pulau yang menjulang seperti sebuah gunung kecil terletak di atas permukaan laut. Lereng gunung tampak lurus dan panjangnya setidaknya puluhan meter untuk sampai ke puncak.     

Ini adalah pertama kalinya Ashes tiba di pulau itu sehingga reaksinya jauh lebih tenang daripada yang lain. Dalam pandangan Kapten Jack, Ashes memiliki karakter yang tenang dan percaya diri.     

"Kamu menang." Jack menghela nafas. "Aku tidak pernah menyangka bahwa kalian bisa mengangkat seluruh pulau. Tidak heran mengapa para fanatik gereja itu begitu membenci para penyihir, kemampuan kalian sebanding dengan para Dewa."     

"Kapten Jack, kami tidak mengangkat seluruh pulau," sahut seorang gadis muda yang berdiri di dermaga, "Kami hanya membangun semacam 'tembok' mengelilingi Pulau Tidur, dan kamu akan mengerti setelah kamu datang kesini." Kemudian, gadis itu menoleh kepada Ashes dan memberi hormat. "Akhirnya kamu kembali. Lady Tilly banyak berbicara tentang kamu."     

Ashes membelai kepala gadis itu. "Tidak usah terlalu formal, Molly. Aku terpaksa merepotkanmu dengan barang-barang bawaanku."     

"Aku bisa mengatasi barang-barang ini." Molly berkata sambil menepuk dadanya.     

Begitu awak kapal mengeluarkan semua barang ke dermaga, Molly memanggil pelayan ajaibnya — yaitu bola berwarna biru muda yang memiliki dua tangan yang bisa berubah jadi apa saja. Lengannya bisa berubah menjadi jaring, membawa semua barang bawaan dan melayang di udara. "Mari kita pergi," kata Molly dengan bangga.     

"Oh, sungguh sebuah kemampuan yang bermanfaat," kata Jack. "Apakah kalian melihat itu, anak-anak? Kalian bahkan tidak sebanding dengan seorang gadis kecil."     

Dermaga itu dibangun di tengah lereng gunung. Mereka menaiki tangga dan ketika mereka sampai di puncak, Ashes langsung mengerti mengapa mereka membangun tembok mengelilingi Pulau Tidur.     

Para penyihir tidak serta merta mengangkat pulau itu, melainkan membuat garis pembatas besar di pulau itu — temboknya mengubah seluruh Pulau Tidur menjadi seperti sebuah baskom, dikelilingi oleh pinggiran tembok yang tebal. Tepian inilah yang disebut Molly sebagai tembok kota bagi pulau itu. Di dalam tembok, ada banyak tangga untuk naik ke atas Pulau Tidur.     

"Ini … tidak bisa dipercaya." Kapten Jack mengerutkan bibirnya. "Kalian telah mengubah pulau ini menjadi sebuah kota. Apa yang akan terjadi di sini ketika air pasang naik? Ya Tuhan, kalian akan hidup di dalam lautan!"     

"Itu benar." sahut Molly sambil tertawa. "Itulah alasan mengapa kita memiliki dua buah dermaga, yang satu di bawah laut, yang satu lagi di atas permukaan laut. Tentu saja, dermaga itu juga dapat dianggap sebagai satu dermaga di permukaan laut dan satu dermaga lagi di udara."     

Ketika mereka sampai ke tengah pulau, mereka melihat banyak rumah-rumah tetapi tidak terbuat dari rumah kayu atau batu bata tradisional, bangunan ini tampak seolah-olah keluar dari tanah, karena fondasi rumah-rumah itu melekat pada tanah. Tidak diragukan lagi, sama seperti tembok pulau itu, ini semua pasti hasil karya Lotus.     

"Ashes, rumah di utara itu adalah istana Lady Tilly. Aku akan pergi bersama kapten untuk mengantarkan barang-barang, dan kamu tidak perlu ikut denganku, kamu bisa langsung menemui Lady Tilly," kata Molly sambil melambaikan tangan.     

Ashes mengangguk, mengucapkan selamat tinggal pada Molly dan Jack lalu berjalan ke utara. Ashes melihat banyak orang yang ia kenal di sepanjang jalan, beberapa orang memberi hormat padanya dan beberapa orang melemparkan senyuman ke arahnya. "Rumah bagi para penyihir" ini membuat Ashes merasa penuh harapan dan juga lebih kuat.     

Pendiri rumah bagi para penyihir ini tentu saja Tilly Wimbledon, Ratu bagi para Penyihir.     

Tidak seperti istana kerajaan, istana yang luas ini tidak memiliki penjaga atau gerbang yang dikunci. Ashes berjalan lurus melalui ruang depan dan saat ia memasuki aula, Ashes melihat sosok yang sudah dikenalnya berada di depannya.     

Ashes berjingkat pelan-pelan di belakang gadis itu dan menutup mata gadis berambut abu-abu itu.     

"Aku bisa merasakan kehadiranmu begitu kamu sampai di pintu itu." kata gadis itu sambil tertawa. "Jangan lupa ketika aku menemukan kamu pertama kali di dalam kerumunan orang banyak."     

Penyihir luar biasa memiliki kemampuan untuk merasakan kekuatan sihir, dan jika ada dua Penyihir Luar Biasa, perasaan di antara mereka akan semakin kuat. Koneksi kekuatan sihir semacam ini, seperti sebuah ikatan yang tidak terlihat, semakin menguatkan hubungan yang terjalin diantara Ashes dan Tilly.     

"Aku sudah kembali," kata Ashes dengan lembut.     

"Yah," sahut Tilly dengan ceria, "Selamat datang di rumah."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.