Bebaskan Penyihir Itu

Reruntuhan Kuno



Reruntuhan Kuno

1Semakin berlayar ke arah timur, kabutnya semakin tipis. Tetapi langit masih terlihat gelap, seolah-olah sinar matahari tidak dapat menyinari perairan ini.      3

Selain itu, terumbu di sekitar perairan itu menjadi lebih tinggi lagi, berubah menjadi pilar-pilar batu karang yang kokoh. Entah bagaimana, meskipun garis airnya semakin rendah, kapal masih bisa berlayar dengan kecepatan stabil. Bahkan ombak laut menjadi lebih tenang dan lautnya menjadi setenang air danau yang tidak berangin.     

Tilly bertanya dengan bingung, "Mengapa kita tidak memasuki perairan Pulau Bayangan setelah air lautnya surut? Begitu terumbu karangnya sudah kelihatan, kita tidak perlu takut kapal kita akan menabrak karang-karang itu."     

"Karena sebelum air lautnya surut, kita bisa melihat Hantu Bayangan Sungai Merah, yang merupakan satu-satunya cara untuk membawa kita masuk ke dalam reruntuhan," jawab Guntur sambil menjelaskan. "Lokasi pulau-pulau ini tidak stabil, dan berubah-ubah setiap pasang surut dan pasang naik. Selain itu, sebagian besar penanda akan tersapu air laut sehingga tidak dapat digunakan untuk menentukan posisi pulau dengan akurat."     

"Hantu Bayangan … Sungai Merah?" tanya Tilly.     

"Benar. Lihat ini …" Guntur bersiul sambil menunjuk ke haluan kapal.     

Para penyihir memandang ke arah yang Guntur tunjuk, mereka melihat beberapa bayangan berwarna merah di dalam air laut — bayangan itu melesat di dalam air, seperti hantu. Segera, dua atau tiga bayangan merah melintas lagi, dan kali ini Ashes melihat bahwa bayangan itu adalah ikan, yang seluruh badannya berwarna merah.     

"Bayangan itu adalah … ikan?"     

Guntur mengelus rahangnya sambil tersenyum. "Itu adalah ikan bersisik merah, ikan unik dari Pulau Bayangan Setelah beberapa saat, kamu akan melihat bentuk asli Hantu Bayangan Sungai Merah."     

Perlahan-lahan, semakin banyak ikan bersisik merah yang muncul, bukan dua atau tiga ekor saja dan mereka berenang menuju buritan. Sambil melihat ke depan, Ashes terkejut melihat fenomena ini — karena semakin banyak ikan yang bergabung dengan kawanan ikan-ikan ini, ada garis berwarna merah dan besar yang nampak dari dalam laut. Kelihatannya kapal mengikuti garis berwarna merah ini, dan Ashes bisa mendengar suara benturan dari waktu ke waktu ketika ikan-ikan itu menghantamkan moncong mereka ke lambung kapal.     

Tiba-tiba, Ashes menyadari bahwa cahaya merah yang ada di dalam laut ini adalah Hantu Bayangan Sungai Merah yang pernah diceritakan oleh Guntur — sungai berwarna merah yang tidak bisa ditemui di mana pun! Saat kapalnya bergerak maju, kawanan ikan-ikan ini melebarkan diri mereka agar beberapa kapal bisa berlayar berdampingan. Seolah-olah air laut yang berwarna hijau tua telah menghilang selagi kapal-kapal berlayar di atas kawanan ikan-ikan. Jika saja warna air lautnya tidak berbeda dengan warna ikannya, orang bisa mengira bahwa kapal itu ditopang oleh ikan-ikan itu.     

Tilly bertanya dengan terkejut, "Bagaimana ini bisa terjadi?"     

Ashes juga ingin mengajukan pertanyaan yang sama seperti Tilly, karena fenomena seperti itu tidak pernah terjadi di Graycastle atau di kerajaan lain — kabut tebal yang menutupi pandangan, langit yang gelap, batu karang raksasa yang aneh, serta "sungai" yang terbuat dari ikan bersisik merah. Untuk pertama kalinya, Ashes merasa takjub dengan pemandangan laut yang spektakuler seperti itu.     

Guntur melanjutkan kembali, "Itu karena pulau utama Pulau Bayangan berbentuk seperti puncak segitiga dengan lubang besar kosong di bagian tengahnya dan ikan bersisik merah suka bertelur di lubang itu. Setiap kali pasang surut terjadi, lubang kosong itu muncul dari dalam laut dan ikan ini adalah makhluk yang pertama kali merasakan perubahan gelombang laut dan mereka langsung bergegas ke sini. Oleh karena itu, selama kita mengikuti cahaya merah bersama ikan-ikan itu, kita akan tiba di pulau utama Pulau Bayangan."     

"Kapten Guntur, ada penghalang raksasa di depan kita, seperti sebuah gunung!" teriak pelaut dari menara pengawas.     

Guntur menggoyangkan pipanya. "Kita sudah hampir sampai. Nona-nona, selamat datang di Pulau Bayangan!"     

Tidak lama kemudian, Ashes bisa melihat pulau utamanya. Seperti yang pernah diceritakan oleh Guntur, seolah-olah itu puncak pulau itu terbuat dari beberapa buah segitiga, menyempit ke atas dan bagian bawahnya lebar, dan permukaan pulau itu terlihat sangat halus jika dilihat sekilas dan kelihatannya tidak terbentuk secara alami. Namun, sulit dipercaya bahwa seluruh puncak pulau itu sudah dipotong oleh orang-orang karena lebar pulau itu hampir berukuran setengah kota, dan lubang di tengah pulau itu cukup besar untuk menampung Menara Babel milik Gereja Hermes.     

Air laut masih surut dan air di atas lubang raksasa itu mengalir turun seperti air mancur, sementara bagian bawahnya tertutup oleh kawanan ikan, membuat seluruh perairan itu berwarna merah. Ashes memperkirakan mungkin ada sepuluh juta ekor ikan bersisik merah yang hidup di dalam lubang itu.     

Ketika langit sudah gelap, air laut pasang kembali memenuhi dasar lubang. Pada saat itu, Guntur memerintahkan para pelaut untuk berlabuh dan mengikat kapal mereka ke tiang tembaga di lubang dengan tali yang kokoh. Jika seseorang berdiri di pinggir lubang itu, orang bisa melihat mulut lubang dari seberang — sinar matahari hanya bisa menerangi sedikit area itu dan bagian tengah lubang itu dipenuhi kegelapan, membuat orang yang memandang ke dalam lubang itu merasa takut.     

"Pilar-pilar ini dibuat olehmu saat terakhir kali kamu ke sini?" tanya Ashes.     

Guntur menggelengkan kepalanya. "Bukan aku. Pilar-pilar batu ini sudah ada di sini ketika aku pertama kali datang ke pulau ini, jadi kurasa pilar-pilar ini mungkin dibangun oleh orang yang membangun reruntuhan itu."     

"Di mana … reruntuhan itu?"     

Guntur menunjuk ke atas sambil tersenyum. "Reruntuhan itu berada tepat di atas kita, dan kita sudah berdiri di pintu masuk menuju ke reruntuhan itu."     

…     

Selanjutnya petualangan mereka menjelajahi pulau itu bisa dibilang luar biasa. Sambil mengikuti Guntur, para penyihir masuk dari gerbang batu di dasar lubang besar dan melangkah ke atas reruntuhan di sepanjang tangga yang berderak-derak ketika diinjak. Meskipun semua orang memegang obor, api mereka bergoyang karena tangan mereka gemetar, sambil menyusuri tangga yang rapuh dan sempit yang tiada akhir.     

Sambil berjalan di pinggir jurang yang gelap, Tilly memegang lengan Ashes erat-erat dan ia tampak gelisah, tidak seperti sikapnya yang biasa.     

Ini adalah Tilly yang aku kenal, pikir Ashes. Putri Tilly terkenal karena pendiriannya yang kuat dan percaya diri ketika menghadapi kesulitan di istana tetapi kelemahan terbesarnya adalah ia takut terhadap gelap. Bahkan ketika hendak tidur, lilin di kamar Tilly tetap dinyalakan. Terkadang, Ashes akan menemani Tilly tidur jika diperlukan.     

Sambil berjalan dalam tempat yang gelap dan lembab, Ashes malah merasa jauh lebih tenang dan senang.     

Tidak ada binatang iblis, atau pengganggu — meski jika ada gangguan sekalipun, tidak akan terlalu berpengaruh karena mereka semua basah karena terkena air laut. Satu-satunya masalah adalah, setelah melangkah ke atas dalam waktu yang lama, mereka semua merasa kelelahan sehingga mereka berjalan semakin lambat. Jadi, ketika mereka sudah mencapai anak tangga yang terakhir, mereka semua bersorak gembira.     

Penghalang terakhir reruntuhan itu tidak terbuat dari batu, melainkan benda logam, dan memantulkan cahaya logam ke obor. Guntur membuka gerbangnya dengan kedua tangan, kemudian gerbangnya berderit dan terbuka secara perlahan.     

Sambil memegang pedangnya, Ashes adalah orang pertama yang masuk ke dalam gerbang, dan setelah ia memastikan bahwa tidak ada bahaya, Tilly dan para penyihir lainnya boleh masuk.     

Setelah obor-obor mereka digantung di dinding, sebuah aula yang luas nampak di hadapan mereka. Aula itu begitu besar dan juga kosong, tidak ada sesuatu yang berharga yang bisa diambil atau diteliti.     

"Ini reruntuhannya?" Ashes menyentuh meja batu yang tampak hijau karena sudah lama terendam air laut. "Tidak ada apa-apa selain meja dan kursi batu."     

Guntur mengangguk. "Memang tidak ada apa-apa di sini. Karena lubang ini terendam dalam air untuk waktu yang lama, tidak ada yang tersisa di sini kecuali bebatuan. Aku sudah memberi tahu Putri Tilly, tetapi ia bersikeras datang ke sini untuk melihat secara langsung."     

Tilly bertanya, "Bagaimana dengan batu merah itu? Di mana kamu menemukan batu itu?"     

"Di tanah. Ada lusinan batu yang berserakan di tanah pada waktu aku menemukan batu merah itu."     

Namun, sekarang tidak ada apa-apa. Ashes menundukkan kepalanya untuk melihat tanah yang licin tempat rumput laut tumbuh. Lebih dari satu petualang pernah masuk ke sini, jadi mustahil kita bisa menemukan batu ajaib itu lagi setelah orang-orang lain yang datang ke sini juga menjarah batu merah itu.     

Tetapi Tilly masih bersemangat. Sambil memegang obor, Tilly melihat dengan saksama ke setiap sudut dan bahkan meminta para pelaut untuk menyalakan lebih banyak obor untuk melihat sudut-sudut aula yang sangat basah. Molly memanggil Pelayan ajaibnya untuk meratakan diri mereka di tanah dan menjadi bantal bagi mereka agar bisa duduk. Ashes menemani Tilly yang sedang menyentuh dan memeriksa dinding aula.     

"Hei." Putri Tilly berhenti tiba-tiba. "Apa ini?"     

Mengikuti pandangan Tilly, Ashes melihat dinding aula yang ditutupi ganggang hijau, dan dindingnya memantulkan cahaya api.     

Tilly menarik dan merobek ganggang hijau itu untuk melihat batu permata yang tersembunyi di dalam dinding aula — batu itu berwarna merah, dan bersinar seperti batu ajaib. Berbentuk seperti prisma, batunya setebal lengan tetapi ujungnya tertanam dengan lapisan emas seolah-olah batu itu muncul dari dalam dinding. Namun, meskipun sudah lama tenggelam di air laut, lapisan emas yang menyelimuti batu ajaib itu masih terang dan jernih.     

Tilly berusaha menarik batunya keluar tetapi batu permata itu tetap tidak bergerak.     

"Biar aku coba," kata Ashes.     

Putri Tilly menggelengkan kepalanya dan ia tampak memikirkan sesuatu, kemudian ia menyentuh dinding itu sambil memejamkan mata.     

Tiba-tiba, ada kilatan cahaya dari dalam prisma itu - Ashes mengira ia salah melihat, tetapi suara bergemuruh muncul dari balik dinding seperti ada sesuatu yang telah memicu semua itu terjadi dan suara gemuruh itu segera menyebar ke seluruh aula. Suara gesekan berderak menyelimuti dinding aula dan cahaya putih datang dari dalam dinding, bahkan langit-langit aula itu menjadi terang benderang.     

Karena panik, para pelaut bangkit berdiri, mengeluarkan pedang mereka, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, mereka semua berdiri dan merapatkan diri satu dengan yang lain dan dikelilingi oleh Pelayan ajaib milik Molly.     

Namun, tidak ada monster apa pun yang muncul.     

Ketika suara bergemuruh itu reda, seluruh aula dipenuhi dengan cahaya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.